Monday 24 June 2013

Hukum Memperingati Malam Nisfu Sya'ban

Hukum Memperingati Malam Nisfu Sya'ban - Sebentar lagi kaum muslimin di indonesia akan memperingati malam nisfu syaban, dengan berbagaiu ritual di dalamnya. Sebenarnya apa Hukum Memperingati Malam Nisfu Sya'ban? Dalam kitab Al-Majmu', Imam Nawawi berkata :”Shalat yang sering kita kenal dengan shalat ragha'ib berjumlah dua belas raka'at dikerjakan antara maghrib dan isya' pada malam jum'at pertama bulan rajab, dan sholat seratus raka'at pada malam nisfu sya'ban, dua sholat ini adalah bid'ah dan mungkar. “

Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya) :
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu “.(QS. Al Maidah : 3).

Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam pernah pernah bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak “. (HR. Bukhari Muslim).

dalam riwayat Muslim (yang artinya):
“Barang siapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama) maka ia tertolak”.

Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, yang semuanya menunjukan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat-Nya bagi mereka. Dia tidak mewafatkan nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam kecuali setelah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan ataupun perbuatan, semuanya bid'ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para sahabat dan ulama mengetahui hal ini, maka mereka mengingkari perbuatan-perbuatan bid'ah dan memperingatkan kita dari padanya. Hal ini disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid'ah seperti Ibnu Wadhah dan Abi Syamah dan lainnya.

Diantara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang adalah bid'ah mengadakan upacara peringatan malam nisyfu sya'ban dan mengkhususkan hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, memang ada beberapa hadits yang menegaskan keutamaan malam tersebut akan tetapi hadits-hadits tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang menegaskan keutamaan shalat pada hari tersebut adalah maudhu' (palsu). A1 Hafidz ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma'arif ' mengatakan bahwa perayaan malam nisfu sya'ban adalah bid'ah dan hadits-¬hadits yang menerangkan keutamaannya adalah lemah.

Imam Abu Bakar At Turthusi berkata dalam bukunya `alhawadits walbida' : “Diriwayatkan dari wadhoh dari Zaid bin Aslam berkata :”kami belun pernah melihat seorangpun dari sesepuh ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan nisyfu sya'ban, tidak mengindahan hadits makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam¬-malam lainnya”.

Dikatakan kepada Ibnu Maliikah bahwasanya Ziad Annumari berkata:
“Pahala yang didapat (dari ibadah ) pada malam nisyfu sya'ban menyamai pahala lailatul qadar.
bnu Maliikah menjawab : Seandainya saya mendengar ucapannya sedang ditangan saya ada tongkat, pasti saya pukul dia. Ziad adalah seorang penceramah. Al Allamah Syaukani menulis dalam bukunya, fawaidul majmuah, sebagai berikut : Hadits : “Wahai Ali barang siapa melakukan shalat pada malam nisyfu sya'ban sebanyak seratus rakaat : ia membaca setiap rakaat Al Fatihah dan Qulhuwallahuahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala . dan seterusnya.

Hadits ini adalah maudhu', pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu ' dan perawi¬-perawinya majhul.

Dalam kitab “Al-Mukhtashar” Syaukani melanjutkan : “Hadits yang menerangkan shalat nisfu sya'ban adalah batil” .

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali : “. Jika datang malam nisfu sya'ban bershalat malamlah dan berpusalah pada siang harinya”. Inipun adalah hadits yang dhaif.

Dalam buku Al-Ala'i diriwayatkan :
“Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam nisfu sya'ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat”. Hadits riwayat Ad-Dailamy, hadits ini tidak maudhu; tetapi mayoritas perawinya pada jalan yang ketiga majhul dan dho'if.

Imam Syaukani berkata : “Hadits yang menerangkan bahwa dua belas raka' at dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan hadits empat belas raka'at . dst adalah maudhu”.

Para fuqoha' banyak yang tertipu oleh hadits-¬hadits maudhu' diatas seperti pengarang Ihya' Ulumuddin dan sebagian ahli tafsir. Telah diriwayatkan bahwa sholat pada malam itu yakni malam nisfu sya'ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia semuanya adalah bathil (tidak benar) dan haditsnya adalah maudhu'. Al-Hafidh Al-Iraqy berkata : “Hadits yang menerangkan tentang sholat nisfu sya'ban maudhu' dan pembohongan atas diri Rasulullallah Shalallahu’alaihi Wassallam.

Dalam kitab Al-Majmu', Imam Nawawi berkata :”Shalat yang sering kita kenal dengan shalat ragha'ib berjumlah dua belas raka'at dikerjakan antara maghrib dan isya' pada malam jum'at pertama bulan rajab, dan sholat seratus raka'at pada malam nisfu sya'ban, dua sholat ini adalah bid'ah dan mungkar. Tak boleh seorangpun terpedaya oleh kedua hadits tersebut hanya karena telah disebutkan didalam kitab Qutul Qulub dan Ihya' Ulumuddin, sebab pada dasarnya hadits-haduts tersebut bathil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits yaitu dari kalangan a'immah yang kemudian mengarang lembaran-¬lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits tersebut.

Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma' il Al-Maqdisy telah mengarang suatu buku yang berharga; beliau menolak (menganggap bathil) kedua hadits diatas.

Dalam penjelasan diatas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam nisfu sya' ban dengan pengkhususan sholat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya degan puasa itu semua adalah bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya didalam syari'at Islam ini, bahkan hanya merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat. Marilah kita hayati ayat Al-Qur'an dibawah ini (yang artinya):
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Ku-Ridhoi Islam sebagai agamamu”.

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat diatas. Selanjutnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak”. (HR. Bukhari Muslim).

Dalam hadits lain beliau bersabda (yang artinya):
“Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam jum 'at dari pada malam-malam lainnya dengan suatu sholat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya untuk berpuasa dari pada hari-hari lainnya, kecuali jika sebelum hari itu telah berpuasa” (HR. Muslim).

Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukankah malam jum'at itu lebih baik dari pada malam-malam lainnya, karena hari jum'at adalah hari yang terbaik yang disinari oleh matahari ? Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam yang shohih. Tatkala Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam telah melarang untuk mengkhususkan sholat pada malam hari itu ini menunjukkan malam yang lainnya lebih tidak boleh lagi. Kecuali jika ada dalil yang shohih yang mengkhususkannya.

Manakala malam lailatul Qadar dan malam¬-malam bulan puasa itu disyari'atkan supaya sholat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu, Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada ummatnya agar supaya melaksanakan¬nya, beliaupun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan didalam hadits yang shohih (yang artinya):
“Barang siapa melakukan sholat pada malam bulan ramadhan dengan penuh rasa iman dan mengharap pahala niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa yang melakukan sholat pada malam lailatul Qadar dengan penuh rasa iman niscaya Allah akan mengampuni dosa yang telah lewat” (Muttafaqun 'alahi). Jika seandainya malam nisfu sya'ban, malam jum'at pertama pada bulan rajab, serta malam isra' mi'raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tertentu, pastilah Rasululah Shalallahu’alaihi Wassallam menjelaskan kepada ummatnya atau menjalankannya sendiri. Jika memang hal ini pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia clan yang paling banyak memberi nasehat setelah Rasululah Shalallahu’alaihi Wassallam.

Dari pendapat-pendapat ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwa tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam ataupun dari para sahabat tentang keutamaan malam malam nisfu sya'ban dan malam jum'at pertama pada bulan Rajab.

Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bidah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tertentu adalah bid'ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra dan Mi'raj, begitu juga tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.

(Diringkas/ disadur dari kitab Tahdzir minul bida' karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Oleh An Nafi'ah dan redaksi).
sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Buletin Al Atsari

Tuntunan Para Salaf dalam Bertakbir di Saat Hari Raya

Tuntunan Para Salaf dalam Bertakbir di Saat Hari Raya - Penulis: Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :“Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur.”

Telah terdapat riwayat, “Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah keluar pada hari raya Idhul Fithri, beliau bertakbir, ketika mendatangi mushalla sampai selesainya shalat, apabila shalat telah selesai, maka beliau menghentikan takbirnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf, al Muhamili dalam Shalatul ‘Idain dengan sanad sahih tetapi mursal. Riwayat tersebut memiliki syahid/penguat yang menguatkan riwayat tersebut. Lihat Silsilah al Ahadits ash Shohihah, 170)

Takbir pada Idul Fithri dimulai pada waktu keluar menunaikan shalat Id.

Berkata Al-Muhaddits Syaikh Al Albani : “Dalam hadits ini ada dalil disyari’atkannya melakukan takbir dengan suara jahr (keras) di jalanan ketika menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita.

Termasuk yang baik untuk disebutkan dalam kesempatan ini adalah bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyari’atkan berkumpul atas satu suara (menyuarakan takbir secara serempak dengan dipimpin seseorang -pent) sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang..

Demikian pula setiap dzikir yang disyariatkan untuk mengeraskan suara ketika membacanya atau tidak disyariatkan mengeraskan suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas satu suara seperti yang telah disebutkan.

Hendaknya kita hati-hati dari perbuatan tersebut [1], dan hendaklah kita selalu meletakkan di hadapan mata kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya (Kapan kaum muslimin diperintahkan takbir di kedua hari raya – pent), maka beliau rahimahullah menjawab : “Segala puji bagi Allah, pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah : Hendaklah takbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat Id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang empat.” (Majmu Al-Fatawa 24/220 dan lihat ‘Subulus Salam’ 2/71-72)

Ibnu Umar dahulu apabila pergi keluar pada hari raya Idhul Fithri dan Idhul Adha, beliau mengeraskan ucapan takbirnya sampai ke mushalla, kemudian bertakbir sampai imam datang. (HR. Ad Daraquthni dan Ibnu Abi Syaibah dan selain mereka dengan sanad yang shahih. Lihat Irwa‘ul Ghalil 650)

Aku katakan : Ucapan beliau rahimahullah : ‘(dilakukan) setelah selesai shalat’ -secara khusus tidaklah dilandasi dalil. Yang benar, takbir dilakukan pada setiap waktu tanpa pengkhususan. Yang menunjukkan demikian adalah ucapan Imam Bukhari dalam kitab ‘Iedain dari “Shahih Bukhari” 2/416 : “Bab Takbir pada hari-hari Mina, dan pada keesokan paginya menuju Arafah”.

Umar Radliallahu ‘anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka orang-orang yang berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina gemuruh dengan suara takbir.

Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.

Maimunnah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid.”

Pada pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan takbir hingga ia tiba di mushalla, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang imam. (Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah dan selainnya dengan isnad yang shahih. Lihat “Irwaul Ghalil’ 650)

Sepanjang yang aku ketahui, tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang tata cara takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di riwayatkan dari sebagian sahabat, semoga Allah meridlai mereka semuanya.

Seperti Ibnu Mas’ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadh :

Allahu Akbar Allahu Akbar Laa ilaha illallaha, wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.

(Yang artinya) : “Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/168 dengan isnad yang shahih)

Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh :

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, wa lillahil hamdu, Allahu Akbar, wa Ajallu Allahu Akbar ‘alaa maa hadanaa.

(yang artinya) : “ Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih)

Abdurrazzaq -dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam “As Sunanul Kubra” (3/316)- meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Salman Al-Khair Radliallahu anhu, ia berkata : (yang artinya) : “Agungkanlah Allah dengan mengucapkan : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira.“

Banyak orang awam yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan dari salaf ini dengan dzikir-dzikir lain dan dengan tambahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya. Sehingga Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (2/536) : “Pada masa ini telah diada-adakan suatu tambahan dalam dzikir itu, yang sebenarnya tidak ada asalnya.”

Footnote :
[1] Yang lebih tragis lagi pelaksanaan takbir untuk hari raya Iedhul Fithri khususnya, sebagian kaum muslimin di negeri-negerinya melakukan dengan cara-cara yang jauh dari sunnah, seperti yang disebutkan di atas dan yang lebih fatal sebagian mereka mengadakan acara takbiran –menurut anggapan mereka– pada malam hari Lebaran sudah mengumandangkan kalimat takbir bahkan dengan cara-cara yang penuh dengan kemaksiatan musik, bercampurnya laki-laki dan wanita serta berjoget-joget dan kemungkaran lainnya –yang sudah dianggap bagian dari syiar Islam. Bahkan mereka menganggap hal itu sunnah dan kewajiban yang harus dilakukan dengan cara yang demikian. Laa haula walaa quwwata illa billah –pent.

(Dinukil dari Ahkaamu Al’ Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=361

Hukum Shalat Jum’at yang Bertepatan Hari Raya

Hukum Shalat Jum’at yang Bertepatan Hari Raya - Pertanyaan : Bismillahirrahmanirrahim. Kepada Asatidz Pengasuh, semoga Allah menjaga kita semua. Mohon penjelasan fiqih tentang hukum shalat Jum’at bila jatuh bersamaan dengan hari Ied. Seperti: Idul Fitri dan Idul Adha. Apakah hukum shalat Jum’at tetap wajib diadakan bila paginya telah dilaksanakan shalat hari Ied. Lalu apakah seseorang masih wajib mendatangi shalat Jum’at sedangkan dia telah ikut shalat Ied. Juga apakah bila tidak wajib, maka bermakna sunah atau mubah dalam mengikuti shalat Jum’at. Apakah bila diperbolehkan meninggalkan shalat Jum’at maka masih wajib shalat Zhuhur. Apakah shalat Zhuhurnya tetap wajib berjamaah. Mohon ulasannya dengan dalil-dalil yang ada secara ringkas. Semoga Allah mengaruniakan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Dijawab oleh Ust. Abu Zakariya al-Makassari :
Bismillahirrahmanirrahim,
Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat gugurnya kewajiban shalat jum’at dan dhuhur, yang mana merupakan pendapat Atha’.

Di antara ulama ada yang berpendapat wajibnya melaksanakan shalat ‘Ied dan juga shalat jum’at. Pendapat ini merupakan pendapat Malik, Abu Hanifah, Ibnu Hazm dan Ibnul Mundzir.

Argumen mereka adalah keumuan ayat, yaitu firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Jumu’ah: 9)

Adapun pendapat yang shahih, yang merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al-Fatawa, 24/211), bahwa bagi yang menghadiri shalat ‘Ied telah gugur kewajiban menghadiri shalat jum’at. Namun tetap diwajibkan baginya untuk mengerjakan shalat dhuhur berpegang dengan keumuman nash-nash syara’. Sementara bagi imam kaum muslimin, dalam hal ini pemerintah, diharuskan untuk menegakkan pelaksanaan shalat jum’at, agar yang berkeinginan menghadirinya dapat menghadiri shalat jum’at. Pendapat ini merupakan pendapat madzhab Hanabilah dan dirajihkan oleh Ibnu Abdil Barr.

Argumen mereka adalah sejumlah hadits, diantaranya yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya pada hari ini telah berkumpul dua ‘Ied bagi kalian. Barangsiapa yang berkeinginan, maka shalat ‘Ied telah mencukupinya dari menghadiri jum’at, sementara saya termasuk yang mengerjakannya.” (HR. Abu Daud (1/1073), Ibnu Majah (1/1311), Al-Hakim (1/288) dan selainnya)

Namun Ad-Daraquthni merajihkan bahwa hadits di atas adalah hadits yang mursal.
Dan juga hadits Zaid bin Arqam. Mu’awiyah telah bertanya kepada Zaid bin Arqam: Apakah anda pernah menyaksikan shalat ‘Ied bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Beliau berkata, “Benar. Beliau mengerjakan shalat ‘Ied di awal hari, kemudian memberikan keringanan dalam pelaksanaan shalat jum’at.” (HR. An-Nasaa’i (3/1591) dan di dalam Al-Kubra (1/1793), Abu Daud (1/1070), Ibnu Majah (1/1310), Ad-Darimi (1/378), Ahmad (4/372), Al-Hakim (1/288) dan selainnya)

Hadist di atas dishahihkan oleh Ali bin Al-Madini, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar. Namun pada sanadnya terdapat perawi bernama Iyas bin Abi Ramlah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnul Jauzi mengatakan dia perawi yang majhul (tidak dikenal).

Dan juga diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, beliau berkata, “Telah berkumpul hari ‘Ied dan jum’at di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat mengimami kaum muslimin, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barang siapa yang hendak mendatangi shalat jum’at maka tidak mengapa dia mendatanginya dan barang siapa yang hendak meninggalkannya tidak mengapa dia meninggalkannya.” (HR. Ibnu Majah, 1/1312)

Hadist tersebut dha’if, pada sanadnya terdapat perawi bernama Jabbarah bin Al-Mughallis dan juga Mindil bin Ali Al-’Anazi keduanya adalah perawi yang dha’if.

Dan beberapa atsar lainnya yang diriwayatkan dari beberapa sahabat dan tabi’in semakna dengan hadits di atas.

Ibnu Abdil Barr dalam mengulas masalah ini, beliau mengkritik pendapat pertama di atas, dengan mengatakan, “Adapun pendapat bahwa shalat jum’at gugur dengan adanya shalat ‘Ied, dan tidak juga mengerjakan shalat dhuhur dan jum’at, maka merupakan pendapat yang sangat jelas fasad dan kekeliruannya. Pendapat yang tertolak dan ditinggalkan, dan tidak layak untuk ditinjau. Dikarenakan Allah Ta’ala berfirman:
“Apabila diserukan untuk mengerjakan shalat pada hari jum’at.”

Dan Allah tidak mengkhususkan hari ‘Ied dari hari-hari lainnya. Sementara atsar yang marfu’ dalam masalah ini, tidaklah menyebutkan gugurnya shalat jum’at dan juga shalat dhuhur, akan tetapi hanya menunjukkan keringanan untuk tidak menghadiri shalat jum’at.” (At-Tamhid 10/274)

Sumber: http://almakassari.com

Doa Ketika Berzakat

Doa Ketika Berzakat - Sebagian ulama menyatakan disunnahkan bagi pemilik zakat untuk berdoa saat menyerahkan zakatnya. Menurut mereka, doanya adalah:
“Allahummaj’alhaa maghnaman walaa taj’alhaa maghraman.” (Ya Allah, jadikanlah zakat ini bermanfaat bagiku dan janganlah engkau menjadikannya sebagai kerugian)

Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah rahimahullah. Namun, hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh al-Albani dalam Dha’if Sunan Ibni Majah no. 1797 dan Irwa’ al-Ghalil no. 852, karena sumber periwayatannya adalah al-Bakhtari bin ‘Ubaid yang tertuduh pendusta. Wallahu a’lam.

Adapun pihak imam (penguasa), petugas pemerintah yang memungut zakat atau pihak penerima zakat, disunnahkan untuk mendoakan pemilik zakat yang memberinya dengan membaca:
“Allahumma shalli ‘alaih.” (Ya Allah, bershalawatlah atasnya).

Atau membaca:
“Allahumma baarik fiihi wa fii maalihi.” (Ya Allah, berkahilah dia dan hartanya)

Dalil doa yang pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka.” (At-Taubah: 10)

Demikian pula hadits Ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu: Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika didatangi oleh suatu kaum yang menyerahkan zakat mereka, beliau berkata, “Ya Allah, bershalawatlah atas mereka.” Datanglah ayahku menyerahkan zakatnya, beliau pun berkata, “Ya Allah, bershalawatlah atas keluarga Abu Aufa.” (HR. Al-Bukhari no. 1497 dan Muslim no. 1078)

Dalil doa yang kedua adalah hadits Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, disebutkan di dalamnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan seorang lelaki yang datang menyerahkan zakat untanya:
“Ya Allah, berkahilah dia dan hartanya.” (HR. An-Nasa’i, dishahihkan sanadnya oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i no. 2458)

Tatkala ayat dan hadits menunjukkan disunnahkannya hal itu bagi imam (penguasa) dan petugasnya, menjadi sunnah pula bagi pihak penerima zakat yang menerimanya langsung dari pemilik zakat, sebab imam (penguasa) dan petugasnya merupakan wakil pihak penerima zakat. Jadi, hukumnya sunnah, bukan wajib!
Wallahu a’lam.

[Faedah ini diambil dari artikel "Adab Pembayaran Zakat" oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari dalam majalah Asy Syariah no. 62/VI/1431 H/2010, hal. 20]

Fatwa Syaikh Al-’Utsaimin tentang Zakat Fitrah

Fatwa Syaikh Al-’Utsaimin tentang Zakat Fitrah - ada beberapa Fatwa Syaikh Al-’Utsaimin tentang Zakat Fitrah, inilah beberapa pertanyaan dan jawaban dari Syaikh Al-’Utsaimin

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum mengeluarkan zakat fitrah pada sepuluh hari pertama pada bulan Ramadhan?

Beliau rahimahullah menjawab: Kata zakat fitrah berasal dari kata al-fithr (berbuka), karena dari al-fithr inilah sebab dinamakan zakat fitrah. Apabila berbuka dari Ramadhan merupakan sebab dari penamaan ini, maka zakat ini terkait dengannya dan tidak boleh mendahuluinya (dari berbuka-masuk Syawal-red).

Oleh sebab itu, waktu yang paling utama dalam mengeluarkannya adalah pada hari ‘Ied sebelum shalat (‘Ied). Akan tetapi diperbolehkan untuk mendahului (dalam mengeluarkannya) sehari atau dua hari sebelum ‘Ied agar memberi keleluasaan bagi yang memberi dan yang mengambil. Sedangkan zakat yang dilakukan sebelum hari-hari tersebut, menurut pendapat yang kuat di kalangan para ulama adalah tidak boleh.

Berkaitan dengan waktu penunaian zakat fitrah, ada dua bagian waktu:
1. Waktu yang diperbolehkan, yaitu sehari atau dua hari sebelum ‘Ied
2. Waktu yang utama, yaitu pada hari ‘Ied sebelum shalat.

Adapun mengakhirkannya hingga usai melaksanakan shalat, maka hal ini haram (terlarang) dan tidak sah sebagai zakat fitrah. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

“Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka itu termasuk dari shadaqah.”

Kecuali apabila orang tersebut tidak mengetahui (kapan) hari ‘Ied. Misalnya dia berada di padang pasir dan tidak mengetahuinya kecuali dalam keadaan terlambat atau yang semisalnya. Maka tidak mengapa baginya untuk menunaikannya setelah shalat ‘Ied, dan itu mencukupi sebagai zakat fitrah. [1].

Beliau rahimahullah ditanya: Kapankah waktu mengeluarkan zakat fitrah? Berapa ukurannya? Bolehkah menambah takarannya? Bolehkah membayarnya dengan uang?

Beliau rahimahullah menjawab: Zakat fitrah adalah makanan yang dikeluarkan oleh seseorang di akhir bulan Ramadhan, dan ukurannya adalah sebanyak satu sha’ [2].

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma, atau gandum.”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan shadaqatul fithr sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata keji, serta sebagai makanan bagi orang- orang miskin.”

Maka zakat fitrah itu berupa makanan pokok masyarakat sekitar. Pada masa sekarang yakni kurma, gandum, dan beras. Apabila kita tinggal di tengah masyarakat yang memakan jagung, maka kita mengeluarkan jagung atau kismis atau aqith (susu yang dikeringkan).

Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu: “Dahulu kami mengeluarkan zakat pada masa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam (seukuran) satu sha’ dari makanan, dan makanan pokok kami adalah kurma, gandum, kismis, dan aqith.”

Waktu mengeluarkannya adalah pada pagi hari ‘Ied sebelum shalat, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar zakat ditunaikan sebelum kaum muslimin keluar untuk shalat,” dan hadits ini marfu’.

Dan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat, maka itu zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka hal itu (hanyalah) shadaqah.”

Dibolehkan untuk mengawalkan sehari atau dua hari sebelum ‘Ied, dan tidak boleh lebih cepat dari itu. Karena zakat ini dinamakan zakat fitrah, disandarkan kepada al-fithr (berbuka, masuk Syawal, red). Seandainya kita katakan boleh mengeluarkannya ketika masuk bulan (Ramadhan), maka namanya zakat shiyam. Oleh karena itu, zakat fithr dibatasi pada hari ‘Ied sebelum shalat, dan diringankan (dimudahkan) dalam mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum ‘Ied.

Adapun menambah takarannya lebih dari satu sha’ dengan tujuan untuk ibadah, maka termasuk bid’ah. Namun apabila untuk alasan shadaqah dan bukan zakat, maka boleh dan tidak berdosa. Dan lebih utama untuk membatasi sesuai dengan yang ditentukan oleh syariat.

Dan barangsiapa yang hendak bershadaqah, hendaknya secara terpisah dari zakat fitrah. Banyak kaum muslimin yang berkata: Berat bagiku untuk menakar dan aku tidak memiliki takaran. Maka aku mengeluarkan takaran yang aku yakini seukuran yang diwajibkan atau lebih dan aku berhati-hati dengan hal ini. Maka yang demikian ini dibolehkan. (Diambil dari kitab Majmu’ Fatawa li Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, juz 18 bab Zakatul Fithr)

Catatan kaki:

[1] Begitu pula seandainya berita ‘Ied datang tiba-tiba dan tidak memungkinkan baginya untuk menyerahkannya kepada yang berhak sebelum shalat ‘Ied, atau karena udzur lainnya. Dan ini dinamakan mengqadha karena udzur. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’ karya Ibnu ‘Utsaimin, 6/174-175, ed)

[2] Yaitu sha’ Nabawi. Adapun ukurannya, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan, berdasarkan ukuran mud yang ditemukan di reruntuhan di Unaizah, yang terbuat dari tembaga dan tertulis padanya: Milik Fulan, dari Fulan,… sampai kepada Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu (shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), adalah senilai 2,040 kg gandum yang bagus (lihat Asy-Syarhul Mumti’ karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 6/76). Jika dinilaikan dengan beras maka sekitar 2,250 kg. Ada juga yang menyatakan bahwa 1 sha’ Nabawi ukurannya sekitar 3 kg, sebagaimana fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz (Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 17/1406-1407H), dan juga Asy-Syaikh Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam (3/74) menyatakan bahwa 1 sha’ Nabawi ukurannya 3000 gr (3 kg) bila diukur dengan hinthah (sejenis gandum). Sehingga kebiasaan kaum muslimin di Indonesia yang menunaikan zakat fitrah dengan ukuran 2,5 kg beras insya Allah sudah mencukupi. (ed)

Sumber: http://asysyariah.com/syariah/problema-anda/919-seputar-zakat-fitrah-dan-hari-raya-iedul-fitri-problema-anda-edisi-10.html

Shalat Ied di Lapangan

Shalat Ied di Lapangan - Ada suatu pemandangan yang terkadang menarik perhatian, yaitu adanya dua kubu kaum muslimin yang mengadakan sholat ied. Kubu yang pertama melaksanakan sholat ied di lapangan, dan kubu yang kedua sholat ied di masjid. Terkadang kaum muslimin pusing tujuh keliling melihat fenomena perpecahan seperti ini. Tragisnya lagi, jika yang berselisih dalam hal ini adalah dua organisasi besar di Indonesia Raya. Nah, manakah yang benar sikapnya dalam perkara ini sehingga harus didukung. Ikuti pembahasannya berikut ini:

Jika kita adakan riset ilmiah berdasarkan Al-Kitab dan Sunnah, maka kita akan menemukan bahwa hadits-hadits dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mendukung kubu yang melaksanakan sholat ied di lapangan.

Pembaca yang budiman, hadits-hadits dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- menunjukkan bahwa Sholat ied: idul fitri, maupun iedul adha, semuanya beliau kerjakan di lapangan.

Dalil Pertama
Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةَ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وُيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

“Dulu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar di hari raya idul fitri dan idul adha menuju lapangan. Maka sesuatu yang paling pertama kali beliau mulai adalah shalat ied, kemudian beliau berbalik dan berdiri menghadap manusia, sedangkan manusia duduk pada shaf-shaf mereka. Beliau pun memberikan nasihat dan wasiat kepada mereka, serta memberikan perintah kepada mereka. Jika beliau ingin mengirim suatu utusan, maka beliau putuskan (tetapkan), atau jika beliau memerintahkan sesuatu, maka beliau akan memerintahkannya. Lalu beliau pun pulang”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya(913) dan Mulim dalam Shohih-nya (889)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- berkata, “Hadits ini dijadikan dalil untuk menunjukkan dianjurkannya keluar menuju padang luas (lapangan) untuk mengerjakan shalat ied, dan bahwasanya hal itu lebih utama dibandingkan shalat ied di masjid, karena kontunyunya nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- atas hal itu, padahal masjid beliau memiliki keutamaan.[Lihat Fathul Bari (2/450)]

Imam Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata, “Telah sampai berita kepada kami bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu keluar di dua hari raya menuju lapangan yang terdapat di kota Madinah. Demikian pula generasi setelahnya, dan seluruh penduduk negeri, kecuali penduduk Mekah, maka sesungguhnya belum sampai berita kepada kami bahwa seorang diantara salaf shalat ied memimpin mereka, kecuali di masjid mereka. [Lihat Al-Umm (1/389)]

Adapun penduduk Mekkah, mereka dikecualikan dalam hal ini, karena sempitnya lokasi yang ada di negeri itu. Mekkah adalah lembah yang dikelilingi oleh pegunungan, tidak mungkin bagi penduduk untuk melaksanakan sholat ied kecuali di lembah itu. Sedang di lembah itulah terdapat Baitullah. Jadi, mau tidak mau, ya mereka harus sholat di Masjidil Haram.

Orang yang berpendapat bolehnya sholat di masjid, jika masjidnya luas, sudah dibantah oleh Asy-syaukaniy-rahimahullah- ketika berkata dalam Nailul Authar (3/359), “Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa alasan sempit, dan luasnya masjid sekedar sangkaan belaka tidak cocok untuk dijadikan udzur dari mencontoh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- untuk keluar menuju lapangan setelah mengakui kesinambungan Beliau terhadap hal tersebut. Adapun berdalil bahwa hal itu merupakan alasan untuk melakukan shalat ied di masjid mekkah (masjidil haram), maka dijawab bahwasanya tidak keluarnya mereka menuju lapangan, karena sempitnya lokasi Mekkah, bukan karena luasnya masjidil haram”.

Dalil Kedua
Ibnu umar -radhiyallahu ‘anhuma- berkata,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْدُوْ إِلَى الْمُصَلَّى فِيْ يَوْمِ الْعِيْدِ وَالْعَنَزَةُ تُحْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِذَا بَلَغَ الْمُصَلَّى نُصِبَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَذَلِكَ أَنَّ الْمُصَلَّى كَانَ فَضَاءً لَيْسَ فِيْهِ شَيْءٌ يُسْتَتَرُ بِهِ

“Rasulullah-Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar pagi-pagi menuju lapangan di hari ied, sedangkan tombak kecil di depan beliu. Jika telah tiba di lapangan, maka tombak kecil itu ditancapkan di depan beliau. Lalu beliau pun shalat menghadap tombak tersebut. Demikianlah, karena lapangan itu adalah padang, di dalamnya tak ada sesuatu yang bisa dijadikan “sutroh” (pembatas di depan imam)” [HR.Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (930), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1304)]

Dalil Ketiga
Al-Baraa’ -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

خَرَجَ النَّبِِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَضْحَى إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكَعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِيْ يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْءٌ عَجَّلَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنِ النُّسُكِ فِيْ شَيْءٍ

“Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar pada hari idul adha menuju Baqi’. Lalu beliau shalat ied dua rakaat. Kemudian beliau menghadapkan wajahnya kepada kami seraya bersabda, “Sesungguhnya awal kurban kita adalah pada hari kita ini. Kita mulai dengan shalat, lalu kita kembali untuk menyembelih hewan kurban. Barang siapa yang melakukan hal itu, maka sungguh ia telah mencocoki sunnah kita. Barangsiapa yang menyembelih sebelum itu (sebelum shalat), maka dia (sembelihannya) adalah sesuatu yang ia segerakan untuk keluarganya, bukan hewan kurban sedikitpun”. [HR.Al-Bukhariy (933)].

Baqi’ yang dimaksudkan disini adalah lapangan, yaitu padang yang luas waktu itu, berada sekitar 100 meter sebelah timur Masjid Nabawi. Namun sekarang tempat itu dijadikan lokasi kuburan. Jadi, Baqi’ dahulu adalah tanah lapang yang luas dan kosong, namun sekarang diisi dengan kuburan yang sebelumnya tak ada.

Dalil Keempat
Abdur Rahman bin Abis berkata,

سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قِيْلَ لَهُ أَشَهِدْتَ الْعِيْدَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ نَعَمْ وَلَوْلَا مَكَانِيْ مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِيْ عِنْدَ دَارِ كَثِيْرِ بْنِ الصَّلْتِ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِيْنَ بِأَيْدَيْهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِيْ ثَوْبِ بِلَالٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَبِلَالٌ إِلَى بَيْتِهِ

“Aku pernah mendengarkan Ibnu Abbas sedang ditanya, apakah engkau pernah menghadiri shalat ied bersama Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- ? Ibnu Abbas menjawab, ya pernah. Andaikan aku tidak kecil, maka aku tidak akan menyaksikannya, sampai Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mendatangi tanda (yang terdapat di lapangan), di dekat rumah Katsir Ibnu Ash-Shalt. Kemudian beliau shalat dan berkhutbah serta mendatangi para wanita sedang beliau bersama Bilal. Maka nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menasihati mereka, mengingatkan, dan memerintahkan mereka untuk bersedaqah. Lalu aku pun melihat mereka mengulurkan (sedeqah) dengan tangan mereka sambil melemparkannya ke baju Bilal. Kemudian nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan Bilal berangkat menuju ke rumahnya”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya(934)].

Al-Hafizh-rahimahullah- berkata, “Ibnu Sa’ad berkata, “Rumah Katsir bin Ash-Sholt merupakan kiblat bagi lapangan di dua hari raya. Rumah itu menurun ke perut lembah Bathhan, suatu lembah di tengah kota Madinah”. Selesai ucapan Ibnu Sa’ad”.[Lihat Fathul Bari (2/449), cet. Darul Ma’rifah]

Dalil-dalil ini dan lainnya menunjukkan bahwa sholat ied di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dilaksanakan di lapangan yang berada pada sebelah timur Masjid Nabawi. Dari hadits-hadits inilah para ulama mengambil kesimpulan bahwa sholat ied, petunjuknya dilaksanakan di lapangan, bukan di masjid !!! Inilah petunjuknya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , Sedang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .

Ibnu Hazm Azh-Zhohiriy-rahimahullah- berkata dalam Al-Muhalla (5/81), “Sunnahnya sholat ied, penduduk setiap kampung, dan kota keluar menuju lapangan yang luas, di dekat tempat tinggal mereka di waktu pagi setelah memutihnya matahari, dan ketika awal bolehnya sholat sunnah”.

Imam Al-AiniyAl-Hanafiy -rahimahullah- berkata, “Dalam hadits ini terdapat anjuran keluar menuju lapangan, dan tidak melaksanakan shalat ied di masjid, kecuali karena darurat”. [Lihat Umdah Al-Qoriy (6/280)].

Imam Malikbin Anas-rahimahullah- berkata dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra (1/245), “Seorang tidak boleh shalat ied di dua hari raya pada dua tempat; mereka juga tidak boleh shalat di masjid mereka, tapi mereka harus keluar (ke lapangan) sebagaimana Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu keluar (menuju lapangan)”.

Ibnu Qudamah -rahimahullah- berkata dalam Al-Mughniy (2/229), “Sunnahnya seorang shalat ied di lapangan. Ali -radhiyallahu ‘anhu- telah memerintahkan hal tersebut dan dianggap suatu pendapat yang baik oleh Al-Auza’iy dan ahli ra’yi. Ini adalah pendapat Ibnul Mundzir… Kami (Ibnu Qudamah) memiliki dalil bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu keluar menuju lapangan, dan meninggalkan masjidnya, demikian pula para khulafaurrasyidin setelahnya. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidaklah meninggalkan perkara yang lebih afdhol (sholat ied di masjidnya), padahal ia dekat, lalu beliau memaksakan diri melakukan perkara yang kurang (yaitu shalat di lapangan), padahal ia lebih jauh. Jadi nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidaklah mensyariatkan umatnya untuk meninggalkan perkara-perkara yang afdhol. Kita juga diperintahkan untuk mengikuti Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , dan berteladan kepadanya. Maka tidak mungkin suatu yang diperintahkan adalah kekurangan, dan sesuatu yang dilarang merupakan sesuatu yang sempurna. Tidak dinukil dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau shalat ied di masjidnya, kecuali karena udzur. Ini juga merupakan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, karena manusia pada setiap zaman dan tempat, mereka keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat ied di dalamnya, padahal masjid luas dan sempit. Dulu nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- laksanakan shalat ied di lapangan, padahal masjidnya mulia, dan juga shalat sunnah di rumah lebih utama dibandingkan shalat sunnah di masjid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , padahal ia lebih utama”.

Inilah beberapa dalil dan komentar para ulama kita yang menghilangkan dahaga bagi orang yang haus ilmu; mengangkat syubhat, dan keraguan dari hati. Semoga dengan risalah ringkas ini kaum muslimin bisa menyatukan langkah dalam melaksanakan sholat ied sehingga persatuan dan kebersamaan diantara mereka semakin kuat, membuat orang-orang kafir gentar dan segan.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 34 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber: http://almakassari.com/?p=181#more-181

Anjuran Menunaikan Zakat dan Ancaman Bagi yang Tidak Menunaikannya

Anjuran Menunaikan Zakat dan Ancaman Bagi yang Tidak Menunaikannya - ada beberapa dalil tentang ancaman dan anjuran menunaikan zakat, dan kajian di bawah ini Oleh: Al Ustadz Qomar Su’aidi, Lc

Anjuran dalam Menunaikan Zakat
Firman Allah Ta’ala (yang artinya) :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At Taubah : 103)

Ayat ini mengajarkan untuk mengambil sedekah dari hartanya kaum mu’minin, baik itu shodaqoh yang ditentukan (zakat) ataupun yang tidak ditentukan (tathowa) demi untuk membersihkan mereka dari kotornya kebakhilan dan rakus. Juga mensucikan mereka dari kehinaan dan kerendahan dari mengambil dan makan haknya orang fakir. Dan juga untuk menumbuh kembangkan harta mereka dan mengangkatnya dengan kebaikan dan keberkahan akhlak dan mu’amalah sampai mengantarkan mereka menjadi orang yang berhak mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Firman Allah Ta’ala:
“Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Adz-Dzariyat : 19)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala telah mengkhususkan sifat-sifat yang mulia dengan berbuat baik. Dan kebaikan mereka nampak jelas dari menegakkan shalat malam, memohon ampun di waktu malam dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana kebaikan mereka yang nampak jelas dalam memberi dan menunaikan haknya orang-orang fakir demi kasih sayang dan rohmah bagi mereka.

Firman Allah Ta’ala (yang artinya) :
“(Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat.” (Al Hajj: 41)

Allah telah menjanjikan dengan menunaikan zakat merupakan tujuan untuk bisa tegak dan kokoh di muka bumi ini. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Tiga perkara yang aku bersumpah atas tiga perkara tersebut dan menceritakan kepada kalian maka jagalah : Tidak akan berkurang harta yang dishodaqohkan dan tidak seorang hamba dianiaya dengan satu kedholiman kemudian dia bersabar (atas kedholiman) kecuali Allah akan menambahkan baginya dengan kemuliaan. Dan tidaklah seorang hamba membuka pintu meminta-minta kecuali Allah akan membaginya pintu kefakiran.” (Turmudzi Kitab Az-Zuhd 4:487(2325) dari hadits Abi Habsyah)

Dan masih banyak hadits-hadits tentang anjuran untuk menunaikan zakat serta keutamaan-keutamaannya.

Ancaman Bagi yang Tidak Menunaikan Zakat
Telah banyak dalil-dalil baik itu dari Al-Kitab ataupun As-Sunnah tentang ancaman keras bagi orang yang bakhil dengan zakat dan enggan untuk mengeluarkannya. Firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam lalu dibakar dengannya dahi mereka lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka :”Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu.” (At Taubah : 34-35)

Firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

“Sekali-sekali janganlah orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu kelak akan dikalungkan di lehernya di hari kiamat.” (Ali Imron : 180)

Oleh karenanya harta yang tidak ditunaikan zakatnya maka itu termasuk harta simpanan yang pemiliknya akan disiksa dengannya pada hari kiamat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Tidaklah seseorang yang memiliki emas atau perak kemudian tidak ditunaikan haknya, apabila datang hari kiamat dibentangkan baginya batu-batu yang lebar dari neraka kemudian dia akan dipanggang di atas batu-batu itu di dalam neraka jahannam kemudian disetrika perut, dahi dan punggungnya. Setiap kali sudah dingin maka akan dikembalikan seperti semula yang satu hari adalah sama dengan 50.000 tahun sampai diputuskan perkaranya diantara manusia maka dia akan melihat jalannya, apakah ke surga atau neraka.” (HR. Muslim Kitab Zakat 7:67 no. 2287 dari hadits Abu Hurairah)

Kemudian lanjutan hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang yang memiliki onta, sapi dan kambing yang tidak ditunaikan zakatnya akan mengalami nasib yang sama pula dari siksa di hari kiamat. Juga sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain :
“Barang siapa yang Allah telah berikan harta kepadanya kemudian dia tidak menunaikan zakatnya maka pada hari kiamat nanti hartanya akan berujud ular yang botak yang mempunyai dua titik hitam diatas kepalanya yang mengalunginya kemudian mengambil dengan kedua sisi mulutnya sambil berkata: “Aku adalah simpananmu, aku adalah hartamu”. Kemudian beliau membaca ayat: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang telah Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya, menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka, sebenarnya bahwa kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka, harta-harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak di hari kiamat.” (HR. Bukhori Kitab Zakat 3:268 no.1403 dari hadits abu Hurairah; Muslim Kitab Zakat 7:74 no. 2294)


Hukum Bagi yang Tidak Mau Membayar Zakat

Dalam hal ini ada beberapa kriteria dari orang-orang yang tidak mau membayar zakat :

1. Seorang yang tidak mau membayar zakat tapi masih meyakini akan wajibnya.
Para ulama menghukumi bahwa pelakunya berdosa dan tidak mengeluarkannya dari keislamannya. Kepada penguasa (hakim) agar memaksa pelakunya supaya mau membayar zakat serta memberikan hukuman pelajaran kepadanya (tahdzir). Dan mengambil hak zakat dari orang tersebut sesuai dengan kewajibannya, tidak boleh lebih. Kecuali pendapatnya Imam Ahmad dan Imam Syafi’i (pendapat lama) maka mengambilnya separuh dari hartanya sebagai hukuman baginya. Sebagaimana hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“… Dan barang siapa yang tidak mau menunaikannya (zakat) maka kami akan mengambilnya dan separuh hartanya adalah hak dari hak-hak wajib bagi Tuhan kami, tidak halal bagi keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam darinya sedikitpun.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Hakim, Baihaqi dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya)

Adapun Ibnu Taimiyah menghukumi orang yang seperti itu adalah kafir dalam batinnya, walaupun secara dzahir tidak dikafirkan, akan tetapi disikapi seperti sikapnya orang-orang murtad yang diberi kesempatan bertaubat tiga kali, kalau tidak mau bertaubat maka hukumnya dibunuh. (lihat Fatawa 7:611, mausu’ah Fiqh Ibnu Taimiyah 2:877; Mughni 4:67; majalah Buhuts Islamiyah Darul ifla’ edisi 58 tahun 1420H hal. 11; Fiqh Sunnah 1:403)

2. Kalau yang tidak mau membayar zakat itu sekelompok orang yang mereka memiliki kekuatan tapi masih berkeyakinan akan wajibnya.
Para ulama menghukumi agar diperangi sampai mereka mau membayar zakat sebagaimana kisahnya Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. (HR. Jama’ah dari Abu Hurairah)

Juga haditsnya Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia supaya mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan (bersaksi) bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka menegakkan sholat dan menunaikan zakat, maka kalau mereka telah mengerjakannya terjagalah dari darah dan harta mereka kecuali haknya Islam dan hisab mereka di sisi Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)


3. Tidak mau membayar zakat dengan mengingkari akan wajibnya.
Berkata Ibnu Qudamah :
“Barang siapa yang mengingkari karena jahil (tidak tahu) atau dia termasuk orang yang tidak tahu karena baru masuk Islam atau dia tinggal di daerah terpencil yang jauh dari daerah yang mengetahui akan wajibnya maka tidak dikafirkan. Adapun kalau dia seorang muslim yang tinggal di negeri Islam di tengah-tengah ahli ilmu maka hukumnya murtad.” (Mughni 4:6-7)

(Dikutip dari tulisan ustadz Qomar Sua’idi, Lc, yang diarsipkan eks. tim Zisonline, al akh Fikri Thalib)

Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=786

Friday 21 June 2013

Bagaimana jika orang yang berpuasa muntah, apakah ia mengqadha` hari itu atau tidak?

Bagaimana jika orang yang berpuasa muntah, apakah ia mengqadha` hari itu atau tidak? - Syech ibnu baz pernah di tanya: Bagaimana jika orang yang berpuasa muntah, apakah ia mengqadha` hari itu atau tidak?

Jawab:
Orang yang muntah (tanpa sengaja) saat berpuasa, ia tidak perlu mengqadha`.
Tetapi jika menyengaja untuk muntah, maka wajib mengqadha` hari itu, karena rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka tak ada qadha` atasnya, tapi barangsiapa yang menyengaja untuk muntah, maka ia harus mengqadha`.” (HR. Imam Ahmad dan Ahlussunan yang empat dengan sanad sahih dari Abu Hurairah)

FATWA-FATWA PUASA – Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz

Bagaimana hukum orang yang berbuka di bulan ramadhan, tapi tidak mengingkari kewajiban puasa?

Bagaimana hukum orang yang berbuka di bulan ramadhan, tapi tidak mengingkari kewajiban puasa? - Syech ibnu baz pernah di tanya: Bagaimana hukum orang yang berbuka di bulan ramadhan, tapi tidak mengingkari kewajiban puasa? Apakah meninggalkan puasa karena malas ini, jika dilakukan lebih dari sekali akan mengeluarkan seseorang dari Islam?

Jawab:
Barangsiapa berbuka secara sengaja di bulan ramadhan tanpa ada udzur syar`i, berarti telah melakukan sebuah dosa besar, tapi ia tidak kafir dengan perbuatan tersebut, ini menurut pendapat para ulama` yang paling sahih. Orang ini harus bertaubat kepada Allah sambil mengqadha` puasa yang ditinggalkannya.

Pendapat diatas berdasar pada banyaknya dalil yang menunjukkan bahwa meninggalkan puasa bukanlah sebuah kekufuran, jika orang yang meninggalkannya itu tidak mengingkari kewajiban berpuasa, tapi meninggalkannya hanya karena malas dan meremehkan. Orang ini, jika terlambat mengqadha` tanpa ada udzur syar`i sampai datang ramadhan berikutnya, ia harus memberi makan orang miskin pada setiap hari yang diqadha`nya. Hal ini sudah dijelaskan pada jawaban pertanyaan ketujuh belas.

Dan demikian pula jika seseorang meninggalkan zakat dan meninggalkan haji, sementara ia mampu melakukannya. Jika ia meninggalkan zakat dan haji tanpa mengingkari kewajiban keduanya, maka ia tidak kafir dengan hal itu. Tapi ia wajib membayar zakat pada tahun-tahun silam yang ditinggalkannya, ia harus mengerjakan haji dan bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuhah karena keteledoran ini.

Ini semua berdasarkan pada keumuman dalil yang menunjukkan bahwa ia tidak kafir dengan hal itu, jika meninggalkannya bukan karena mengingkari kewajibannya. Diantara dalil itu adalah hadits mengenai siksaan di hari kiamat yang didapat seseorang karena meninggalkan zakat, kemudian ia melihat jalannya, bisa ke surga dan bisa ke neraka.

FATWA-FATWA PUASA – Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz

Apa hukum puasa bagi seseorang yang meninggalkan shalat, apakah puasanya sah?

Apa hukum puasa bagi seseorang yang meninggalkan shalat, apakah puasanya sah? - Syech ibnu baz pernah di tanya: Apa hukum puasa bagi seseorang yang meninggalkan shalat, apakah puasanya sah?

Jawab:
Pendapat yang rajih, orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, ia menjadi kafir dengan kekufuran yang nyata. Karena itu, puasanya tidak sah, demikian pula ibadah-ibadah lain yang dilakukannya sampai ia bertaubat kepada Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi,
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An`am: 88)

Tetapi ada beberapa ulama` yang mengatakan, bahwa orang yang meninggalkan shalat, ia tidak menjadi kafir karenanya, sehingga puasanya tidak batal, demikian pula ibadah-ibadah lainnya. Dengan ketentuan, saat meninggalkannya ia tetap meyakini kewajiban shalat tersebut, dan meninggalkannya hanya karena malas dan meremehkan.
Namun, yang benar adalah pendapat pertama, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, ia menjadi kafir meskipun ia meyakini kewajiban shalat tersebut. Pendapat ini berdasar pada banyak dalil, diantaranya sabda nabi yang berbunyi,
“Garis yang memisahkan antara seorang lelaki dengan syirik atau kekafiran adalah meninggalkan shalat.”(Diriwayatkan Imam Muslim dalam sahihnya dari Jabir bin Abdillah)

Juga sabda beliau,
“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah mengerjakan shalat. Maka barangsiapa yang meninggalkannya, sungguh ia telah kafir.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan yang empat dengan sanad yang sahih dari Buraidah bin Hushoib Al-Aslami)

Sementara itu, Ibnul Qayyim telah menjelaskan dengan detail masalah meninggalkan shalat ini dalam sebuah buku yang khusus membahas tentang hukumhukum shalat dan meninggalkannya, buku ini bermanfaat sekali bagi kita, juga sangat bagus untuk dijadikan rujukan.

FATWA-FATWA PUASA – Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz

Hukum seseorang yang tidak mau mengqadha` puasa sampai masuk ramadhan berikutnya

hukum seseorang yang tidak mau mengqadha` puasa sampai masuk ramadhan berikutnya - Syech ibnu baz pernah di tanya: Bagaimana hukum seseorang yang tidak mau mengqadha` puasa sampai masuk ramadhan berikutnya, padahal ia tak ada udzur sama sekali. Apakah ia cukup bertaubat dengan mengqadha` atau harus membayar kaffarat?

Jawab:
Ia wajib bertaubat kepada Allah dan memberi makan orang miskin untuk setiap harinya, disertai mengqadha`. Yaitu memberikan setengah sha` makanan pokok yang ada di negerinya, apakah itu berupa kurma, gandum, beras atau yang lain. Sha` ini adalah sha` nabi shallallahu `alaihi wasallam, yang ukurannya kurang lebih satu kilo setengah, tak ada kaffarat lain selain hal itu. Hal ini sebagaimana difatwakan beberapa sahabat, diantaranya Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma.

Tetapi jika orang tersebut memang ada udzur syar`i seperti sakit atau bepergian, atau jika seorang wanita, ia terkena udzur karena hamil dan menyusui, sehingga dengan berpuasa mereka malah mendapati banyak kesulitan, maka tidak ada kewajiban lain bagi mereka kecuali hanya mengqadha`.

FATWA-FATWA PUASA – Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz

Bagaimana hukum menggunakan pasta gigi, dan obat tetes pada telinga, hidung, juga mata bagi orang berpuasa?

Bagaimana hukum menggunakan pasta gigi, dan obat tetes pada telinga, hidung, juga mata bagi orang berpuasa? Jika orang yang berpuasa merasakan obat tersebut di tenggorokannya, apa yang harus dikerjakannya? - Syech bin baz di tanya : Bagaimana hukum menggunakan pasta gigi, dan obat tetes pada telinga, hidung, juga mata bagi orang berpuasa?
Jika orang yang berpuasa merasakan obat tersebut di tenggorokannya, apa yang harus dikerjakannya?

Jawab: Membersihkan gigi dengan pasta gigi tidak membatalkan puasa, ia seperti siwak. Tetapi seseorang harus berhati-hati, jangan sampai ada sesuatu yang masuk ke dalam tenggorokannya, jika ada sesuatu yang masuk ke dalam tenggorokan tanpa disengajanya, maka tidak apa-apa dan ia tak perlu mengqadha` puasa. Demikian pula obat tetes pada mata dan telinga, seseorang tidak menjadi batal puasanya karena hal itu, ini menurut pendapat para ulama` yang paling sahih.

Jika seseorang mendapati rasa obat tetes itu pada tenggorokan, maka mengqadha` puasa adalah lebih baik, tapi tidak diwajibkan. Karena mata dan telinga bukan tempat masuknya makanan dan minuman. Sedangkan obat tetes pada hidung, maka hal itu tidak boleh dilakukan orang yang berpuasa, karena hidung termasuk lobang masuknya makanan dan minuman.
Karena itulah rasulullah bersabda,
“Dan keraskan saat menarik air ke dalam hidung,kecuali jika kamu berpuasa.”

Jadi, siapa pun yang meneteskan obat ke dalam hidung, maka ia wajib mengqadha` puasa sesuai hadits di atas. Dan apa pun yang serupa dengan obat tetes pada hidung, jika seseorang mendapati rasanya dalam tenggorokan, maka ia wajib mengqadha` pula. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua.

FATWA-FATWA PUASA – Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz

Bagaimana jika seseorang makan dan minum karena lupa di siang hari saat berpuasa?

Bagaimana jika seseorang makan dan minum karena lupa di siang hari saat berpuasa? - Syech ibnu baz pernah di tanya: Bagaimana jika seseorang makan dan minum karena lupa di siang hari saat berpuasa?

Jawab: Hukumnya tidak apa-apa, dan puasanya tetap sah.

Karena sesuai dengan firman Allah yang berbunyi,
“Wahai Rabb kami! Jangan Engkau menyiksa kami jika kami lupa atau tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Dan ditegaskan dalam sebuah hadits sahih bahwa Allah menjawab, “Saya telah melakukannya.” Juga sesuai dengan hadits Abu Hurairah dari nabi,
bahwa beliau bersabda,
“Barangsiapa lupa saat berpuasa, lalu makan dan minum, maka tetaplah meneruskan puasanya, karena yang memberi makan dan minum kepadanya adalah Allah.” (Muttafaq alaih)

Dan demikian halnya jika ia menyetubuhi isterinya karena lupa, maka puasanya tetap sah. Ini menurut pendapat para ulama` yang paling sahih. Karena berdasarkan pada ayat dan hadits di atas, juga karena sabda nabi dibawah ini,
“Barangsiapa berbuka karena lupa, maka tak ada qadha` atasnya dan tak ada pula kaffarat (penebus).” (HR. Al-Hakim dan ia mensahihkannya)

Lafadh hadits diatas umum pada masalah bersetubuh dan masalah lainnya yang membatalkan puasa, yang seseorang melakukannya karena lupa. Ini adalah bentuk rahmat, keutamaan dan kebijakan Allah kepada para hamba, maka segala puji dan syukur hanyalah kepada Allah atas semua kebaikan itu.

FATWA-FATWA PUASA – Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz

Bid’ah-Bid’ah Dalam Shalat Tarawih

Bid’ah-Bid’ah Dalam Shalat Tarawih - Di antara bid'ah yang lazim terjadi di masyarakat seputar masalah shalat tarawih, ialah sebagai berikut:

1. Shalat tarawih dengan cepat, laksana ayam mematuk makanan
Mayoritas imam masjid kurang memiliki akal sehat dan pengetahuan agama yang baik. Hal itu nampak dari cara melakukan shalat. Bahwa hampir semua shalat yang dilakukan, mirip dengan shalatnya orang yang sedang kesurupan, terutama ketika shalat tarawih. Mereka melakukan shalat 23 raka'at hanya dalam waktu 20 menit, dengan membaca surat Al `Ala atau Adh Dhuha.

Menurut semua madzhab, dalam melakukan shalat tidak boleh seperti itu, karena ia merupakan shalat orang munafik, sebagaimana firmanNya:
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, maka mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' dihadapan manusia dan tidak menyebut Allah, kecuali hanya sedikit sekali. (QS An Nisa': 142).

Bentuk dan cara shalat tarawih yang seperti itu, jelas bertentangan dengan cara shalat tarawih Rasulullah, para sahabat dan ulama salaf. Nabi bersabda,
Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara perkara baru (bid'ah), karena setiap perkara yangbaru adalah bid'ah, dan setiap yang bid'ah adalah sehat.(Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah.).

Dan Rasulullah bersabda,
Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad. Lihat Irwaul Ghalil no: 213.).

Ad Darimy meriwayatkan, bahwa Abu Aliyah berkata,
Jika kami mendatangi seseorang untuk menuntut ilmu, maka kami akan melihat ia shalat. Jika ia shalat dengan benar, kami akan duduk untuk belajar dengannya. Dan kami berkata, "Dia akan lebih baik dalam masalah lain." Sebaliknya, jika shalatnya rusak, maka kami akan berpaling darinya dan kami berkata, "Dia akan lebih rusak dalam masalah yang lain". (As Sunan Wal Mubtadat, Syaikh Muhammad bin Abdusalam, Darul Fikr).

Dan suatu hal yang menguatkan lagi, bahwa demikian itu menjadi perkara bid'ah, karena dikerjakan secara rutin dan permanen pada setiap bulan Ramadhan. Mereka beranggapan, bahwa hal itu merupakan cara terbaik dalam menunaikan shalat tarawih.

2. Membaca surat Al’An’am dalam satu raka’at dari shalat tarawih
Para ulama menganggap, bahwa membaca surat Al An'am dalam satu raka'at dari shalat tarawih termasuk perbuatan bid'ah, karena demikian itu tidak bersandarkan kepada suatu dalil. Adapun hadits dari Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka'ab bahwa Rasulullah bersabda:
Surat Al An'am diturunkan sekaligus dalam sekali tahapan yang dihantarkan oleh tujuh puluh ribu malaikat sambil membaca tasbih dan tahmid

Banyak orang awam yang tertipu dengan hadits ini. Padahal menurut Imam As Suyuthi, bahwa hadits di atas adalah dhaif. Andaikata pun hadits tersebut shahih, juga sedikitpun tidak ada anjuran yang bersifat sunnah dibaca dalam satu raka'at Membaca surat Al An'am dalam satu raka'at bisa dikatakan bid'ah karena beberapa alasan sebagai berikut.
  1. Mengkhususkan surat Al An'am menipu ummat, bahwa surat yang lain kurang afdhal atau tidak baik untuk dibaca pada waktu shalat tarawih.
  2. Bacaan tersebut hanya dikhususkan pada waktu shalat tarawih.
  3. Memberatkan kaum muslimin terutama orang awam, sehingga mereka akan marah atau jengkel atau timbul kebencian terhadap ibadah.
  4. Yang demikian itu menyelisihi sunnah, sebab Rasulullah menganjurkan agar raka'at kedua lebih pendek daripada raka'at pertama, sementara bid'ah ini telah merubah secara tolal sunnah tersebut dan melawan syari'at. [Al Amru bin lttiba' Wan Nahyu Anil lbtida', Imam As Suyuthi, Maktabatul Qur'an.]

3. Bid’ah mengumpulkan ayat-ayat Sajadah
Seorang imam mengumpulkan ayat-ayat sajadah ketika khataman Al Qur'an pada shalat tarawih dalam raka'at terakhir, kemudian is sujud bersama makmum. [Al Amru bin lttiba' Wan Nahyu Anil lbtida', Imam As Suyuthi, Maktabatul Qur'an.]

4. Membaca beberapa ayat yang disebut ayat-ayat hirs
(perlindungan) Mengumpulkan beberapa ayat yang mereka sebut dengan nama ayat-ayat perlindungan, lalu dibaca secara keseluruhan di akhir raka 'at dalam shalat tarawih. [Al Baits Ala Inkaril Bida' Wal Hawadits, Abu Syamah Al Maqdisy, Darur Rayyah, Riyadh.]

5. Bid’ah dzikir dan do’a ketika hendak memulai shalat tarawih
Ucapan seorang bilal atau imam ketika hendak memulai shalat tarawih yang dibaca dengan berjama'ah dan suara keras.[Mu Jamul Bida', Raid bin Sabri bin Abi 'Alfah, Darul Ashimah, halaman 98.]

Shalaatat tarawih fi syahri ramadhan rahimakumullah Shalaatat tarawih aajarakumullah.

Bid'ah ini banyak sekali menyebar di negeri ini. Dianggap sebagai sesuatu yang baik dan sunnah, padahal hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabat. Padahal setiap cara ibadah dan praktek agama yang tidak ada dalil atau landasan hukumnya, maka tertolak dan dinyatakan sebagai perbuatan bid'ah. Beliau bersabda,
Barangsiapa yang membuat-buat ibadah dalam ajaran kami ini (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya, maka amalan itu tertolak. (HR Bukhari).

6. Berdzikir dengan dipandu seorang bilal
Berdzikir dengan dipandu seorang bilal setiap selesai shalat dua raka 'at dari shalat tarawih, maka perbuatan seperti ini termasuk bid'ah. Namun terkadang bacaan dzikir dilakukan sendiri-sendiri dengan ringan, atau terkadang dzikir tersebut dibaca secara beljama'ah. [ Al Hawadits Wal Bida'. Imam Abu Bakar At Thurthusy, Dal Ibnul Jauzy, Riyadh. ]
Dzikir dengan cara ini termasuk bid'ah, karena beberapa alasan berikut.
  1. Karena membuat tata cara baru dalam beribadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah merupakan perbuatan bid'ah. Dari Jabir bin Abdullah diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
    Amma ba 'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk ibadah adalah yang dibikin-bikin, dan setiap bid'ah itu adalah sesat. [ Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Al Jumu'ah: meringkas shalat dan khutbah 1: 592 dengan nomor 867. ]
  2. Dzikir tersebut hanya dikhususkan pada waktu shalat tarawih saja, padahal mengkhususkan suatu ibadah yang tidak berdasarkan dalil, maka hal itu termasuk perbuatan bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat.
  3. Tindakan itu boleh jadi memberatkan kaum muslimin terutama orang awam, sehingga menimbulkan sikap kebencian terhadap ibadah.
  4. Keempat, perbuatan itu dengan jelas telah menyelisihi sunnah. Sebab Rasulullah tidak pernah menganjurkan membaca dzikir secara berjama'ah dalam shalat tarawih.
Begitu pula beliau tidak pernah mengajarkan bacaan dzikir-dzikir tersebut. Maka bentuk dzikir seperti itu bertentangan dengan sunnah Rasulullah dan kebiasaan para sahabat.

7. Mengkhususkan membaca qunut pada shalat tarawih
Mengkhususkan qunut hanya pada pertengahan Ramadhan dalam shalat tarawih. Yang demikian itu tidak pernah dicontohkan Rasulullah . Imam Malik dalam kitab Mudawwanah Al Kubra menyatakan, "Tidak ada dalil shahih yang bisa digunakan sebagai sandaran bagi orang yang mengkhususkan qunutdalam shalat tarawih pada bulan Ramadhan, baik pada awal maupun akhir Ramadhan, atau pada shalat witir." [ Al Hawadits Wal Bida', Imam Abu Bakar At Thurthusy, Dal Ibnul Jauzy. Riyadh. ]

8. Shalat tarawih bercampur baur antara kaum laki-laki dan kaum wanita dalam satu masjid
Diantara kebid'ahan dan kemungkaran dalam masjid yang berkaitan dengan shalat - terutama shalat tarawih- yaitu melakukan shalat berjamaah campur-baur antara kaum laki-laki dan kaum wanita dalam satu masjid. [Bidaul Qurra', Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul Faruq Saudi.]

9. Dzikir dengan suara keras dan berjama’ah seperti koor
Dzikir berjama'ah dengan suara keras seperti koor pada setiap waktu istirahat dalam shalat tarawih, merupakan perbuatan bid'ah. [Bidaul Qurra', Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul Faruq Saudi.]
Adapun lafadz dzikir yang mereka baca berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan daerah, maka perbuatan seperti ini termasuk mengumpulkan berbagai macam keburukan dan kebid'ahan, antara lain:
  1. Bid'ah dzikir berjama 'ah dengan suara koor.
  2. Bid'ah dalam menggunakan lafadz-lafadz dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah.
  3. Mengganggu kaum muslimin dengan suara keras, dan boleh jadi dzikir tersebut disampaikan lewat mikrofon atau pengeras suara.
  4. Membuat praktek ibadah baru dalam shalat tarawih yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Padahal beliau bersabda:
    Barangsiapa yang melakukan.amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka ibadahnya itu tertolak. (HR Muslim).

10. Dzikir berjama’ah dengan suara keras saat akan dimulainya raka’at baru dalam shalat tarawih
Bacaan dzikir yang diamalkan setiap selesai salam dari dua raka'at shalat tarawih, dan (kemudian) hendak memulai raka'at yang baru, (dzikir seperti ini)termasuk perbuatan bid'ah. Tata cara dan bacaan dzikir tersebut antara lain:

Seorang bilal membaca:
Fadhlum minallaahi wan ni'matu yaa tawwaabu ya waasi'al maghfirati Allahummah shalli wa sallim 'ala muhammadin

Lalu dijawab oleh para jama'ah shalat tarawih secara bersama-sama dengan suara keras, shalluu 'alaih (atau) Allahumma shalli wasallim 'ala muhammadin

Kemudian pada raka'at-raka'at yang akhir mereka mendo'akan kepada khulafaurrasyidin yang empat.

11. Bid’ah do’a berjama’ah ketika istirahat antara shalat tarawih dengan shalat witir
Do'a berjama 'ah pada saat istirahat antara shalat tarawih dengan shalat witir merupakan perbuatan bid'ah yang munkar. Begitu juga ketika hendak shalat witir, bilal atau imam mengucapkan:
Shalluu sunnatal witri rahimakumullaah (atau) aajarakumullaah

Kebanyakan mereka yang mengamalkan bid'ah ini telah membuat bacaan do'a secara khusus, yang tidak bersandar kepada satu dalilpun, dan tidak pernah diajarkan oleh para ulama salaf mapun imam sunnah. [Al Hawadits Wal Bida', Imam Abu Bakar Ath Thurthusy, Dar .Ibnul Jauzy, Riyadh, halaman 64. ]

12. Melazimkan surat Al Ikhlas dan Mu’awidzatain dalam setiap raka’at akhir dari shalat witir
Melazimkan surat Al Ikhlas dan Muawidzatain dalam setiap raka 'at terakhir dari shalat witir, termasuk perbuatan bid'ah. Hal tersebut tidak pernah dicontohkan Rasulullah dan ulama salaf dari kalangan para sahabat dan tabi'in. Sementara sebagai orang awam terpesona dengan hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Ath Thabrani dalam Mu'jamul Ausath, dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah, karena terdapat seorang perawi As Sary bin Ismail dan Miqdam bin Daud, yang keduanya merupakan perawi yang dha'if.

Begitu juga hadits serupa diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam Sunan-nya dan Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya, serta Ibnu Majah dalam Sunan-nya, dari hadits Aisyah dengan sanad yang lemah. Imam Al Mundziri berkata, bahwa hadits ini diriwayatkan Abu Daud dan Tirmidzi serta Ibnu Majah dari Aisyah dari Khushaif bin Abdurahman Al Harrani; telah dinyatakan sebagai perawi yang lemah oleh kebanyakan para imam ahli hadits. Ibnul Jauzi berkata, Imam Ahmad dan Yahya Ibnu Ma'in telah mengingkari dengan keras tambahan Muawidzatain dalam raka 'at akhir dari shalat witir. [ Lihat Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud, Darul Kutuhul Ilmiyah. Beirut Libanon. Bab Ma Yuqra' Fil Witr. ]

13. Berhenti dari shalat qiyamul lail atau shalat tarawih setelah khataman Al Qur’an
Sebagian umat Islam ada yang menghentikan qiyamul lail atau shalat tarawih setelah menyelesaikan khataman Al Qur'an, padahal perbuatan tersebut termasuk bid'ah. [Bidaul Qurra', Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul Faruq, Saudi. ]

14. Membaca dua juz atau lebih dari Al Qur’an pada shalat tarawih terakhir.
Membaca dua juz atau lebih pada malam terakhir dalam shalat tarawih. Ada juga yang melazimkan dari mulai surat Adh Dhuha hingga selesai. [ Al Madkhal, Ibnul Haj 2/294, Darul Hadits, Mesir. ]

Demikianlah penjelasan beberapa bid'ah seputar shalat tarawih, yang secara umum sudah banyak tersebar di tengah masyarakat. Maka demi menjaga keutuhan ajaran Islam dan melestarikan sunnah, serta memelihara pahala ibadah -terutama shalat tarawih- maka saya mengajak kepada seluruh umat Islam agar meninggalkan kebiasaan buruk dan perbuatan bid'ah dalam setiap bidang agama. wallohu ta'ala a'lam..

Monday 17 June 2013

Fatwa Lajnah Ad-Da’imah tentang Penentuan Ramadhan dan Idul Fithri

Fatwa Lajnah Ad-Da’imah tentang Penentuan Ramadhan dan Idul Fithri - Berikut ini kami tampilkan fatwa-fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-’Ilmiyah wal Ifta’ (Komite Tetap untuk Riset ‘Ilmiah dan Fatwa) Kerajaan Saudi ‘Arabia, terkait masalah ru’yah dan hisab untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fithri.

1. Fatwa no. 2031 (juz XII/hal. 115)

Soal : Bagaimana cara menentukan awal bulan pada setiap bulan qamariyah?

Jawab : Hadits-hadts yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwasanya apabila hilal telah berhasil dilihat/diru`yah oleh orang yang terpercaya setelah terbenamnya matahari pada malam tiga puluh pada bulan Sya’ban, atau berhasil diru`yah oleh beberapa orang terpercaya pada malam tiga puluh dari bulan Ramadhan, maka ru’yah yang dia lakukan bisa diterima dan dengan itu bisa diketahui awal bulan (Ramadhan dan Syawwal). Tanpa perlu memperhatikan lama bulan (hilal) berada diufuk setelah tenggelamnya matahari, baik itu 20 menit, atau kurang darinya, ataupun lebih. Yang demikian itu karena tidak ada satupun hadits shahih yang menunjukkan suatu batasan menit tertentu untuk berapa lama jarak waktu terbenamnya bulan setelah terbenamnya matahari. Dan Majelis Hai’ah Kibaril ‘Ulama di Kerajaan Saudi Arabia telah menyepakati apa yang telah kami sebutkan di atas.

Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta’
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz,
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi,
Anggota : ‘Abdullah bin Qu`ud, ‘Abdullah bin Ghudayan

2. Fatwa no. 386 (Juz XII/Hal. 133-134)

Soal : Bolehkah seorang muslim memulai waktu berpuasa (Ramadhan) dan mengakhirinya (’Idul Fithri) berdasarkan hisab falaki, atau haruskah dengan cara ru`yatul hilal?

Jawab : Syari’at Islam adalah syari’at yang mudah, hukum-hukumnya bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia dan jin dengan berbagai status sosial mereka, baik dari kalangan orang-orang yang berilmu maupun dari kalangan yang tidak bisa baca tulis, baik mereka yang tinggal di perkotaan maupun di pelosok desa. Dengan keragaman itulah Allah telah memberi kemudahan bagi mereka dalam cara mengetahui waktu-waktu ibadah mereka. Allah telah menjadikan berbagai tanda yang bisa dikenali oleh siapapun terkait dengan masuk dan keluarnya waktu-waktu ibadah mereka. Misalnya, Allah menjadikan tenggelamnya matahari sebagai tanda masuknya waktu maghrib dan juga sebagai tanda telah keluarnya waktu ashar. Allah menjadikan hilangnya mega (cahaya merah setelah matahari tenggelam) sebagai tanda masuknya waktu isya. Allah juga telah menjadikan ru`yatul hilal -setelah hilangnya bulan pada akhir bulan (yakni bulan mati)- sebagai tanda awal bulan (qomariyah) dan berakhirnya bulan sebelumnya. Allah tidak membebani kita untuk mengetahui awal masuknya bulan qomariyah itu dengan suatu cara yang tidak diketahui kecuali oleh segelintir manusia, yakni dengan ilmu astronomi atau ilmu hisab falaki.

Karena itulah telah ada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mensyari’atkan ru`yatul hilal dan menyaksikannya sebagai tanda dimulainya waktu bershaum Ramadhan bagi kaum muslimin dan untuk mengakhiri shaumnya (’Idul Fithri) juga dengan cara melihat hilal (ru`yatul hilal) Syawwal. Demikian pula cara yang sama dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan hari ‘Arafah. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ‏‎ ‎فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa di antara kalian yang telah menyaksikan/melihatnya (hilal Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Al-Baqarah: 185) Allah Ta’ala juga berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ‏‎ ‎قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ‏‎ ‎وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal itu. Katakanlah bahwa hilal-hilal itu untuk menentukan waktu-waktu bagi manusia dan juga menentukan waktu haji.” (Al-Baqarah : 189)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه‎ ‎فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة‎ ‎ثلاثين

“Jika kalian telah berhasil melihat hilal (Ramadhan) maka laksanakanlah shaum Ramadhan, dan jika telah berhasil melihat hilal (Syawwal) maka ber’Idul Fithrilah. Jika kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah bilangan bulannya menjadi 30 hari.”

Maka beliau ‘alaihish shalatu was salam mensyariatkan dalam memulai waktu puasa berdasarkan kepastian ru`yatul hilal Ramadhan, dan ber’Idul Fithri berdasarkan kepastian ru`yatul hilal Syawwal. Beliau tidak mengaitkan penentuan hal tersebut dengan hisab astronomi dan peredaran bintang-bintang.

Di atas cara inilah penerapan yang berlangsung pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan masa para Khulafa`ur Rasyidin, demikian pula pada masa para imam yang empat, dan pada tiga generasi pertama dari kalangan umat ini yang telah dipersaksikan keutamaan dan kebaikannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka menetapkan bulan-bulan qamariyah dengan merujuk kepada ilmu astronomi dalam memulai ibadah dan juga ketika mengakhirinya, meninggalkan cara ru`yatul hilal, merupakan kebid’ahan yang tidak ada kebaikan padanya, dan tidak ada landasannya dari syari’at.

Kerajaan Arab Saudi berpegang dengan tuntunan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan generasi salafus shalih berada di atasnya, baik dalam penentuan waktu bershaum dan ‘Idul Fithri, dalam berhari raya, dalam penentuan waktu haji, dan dalam menentukan waktu untuk ibadah-ibadah lainnya, yaitu dengan cara ru`yatul hilal.

Hakikat kebaikan puncak segala bentuk kebaikan adalah dengan mengikuti jejak para salaf dalam urusan agama, dan hakikat kejelekan puncak segala bentuk kejelekan terdapat dalam bid’ah yang diada-adakan dalam agama ini.

Semoga Allah menjaga kami dan anda serta kaum muslimin semuanya dari berbagai fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi. Hanya kepada Allah-lah kita memohon petunjuk. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para shahabatnya.

Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts al-’ilmiyah wal ifta’
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan, ‘Abdullah bin Mani’

3. Fatwa no. 2036 (Juz XII/Hal. 136)

Soal : Bahwa terjadi perbedaan pendapat yang menyolok di antara sesama ulama kaum muslimin dalam penetapan awal masuknya puasa Ramadhan dan Iedul Fitri yang penuh barakah. Di antara mereka ada yang mengamalkan hadits:
“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber ’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal.“

Dan di antara mereka ada yang bersandar dengan pendapat para pakar ilmu falak (ahli hisab), dengan dalih bahwa sesungguhnya ahli ilmu falak telah mencapai puncak dalam ilmu falak sehingga sangat memungkinkan bagi mereka untuk mengetahui awal masuknya bulan-bulan qomariyah, sehingga atas dasar itulah mereka bisa mengikuti kalender (yang telah disusun oleh ahli falak/hisab).

Jawab :

Pertama : Pendapat yang shahih (benar) yang wajib diamalkan adalah perintah yang ditunjukkan dalam sabda Nabi :
“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal, jika terhalangi atas kalian melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan bulannya.”

Bahwa patokan dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan berakhirnya adalah berdasarkan ru`yatul hilal. Karena syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad -selaku utusan Allah- bersifat universal, baku/paten, dan terus berlaku sampai hari kiamat.

Kedua : Bahwasanya Allah Ta’ala Maha Tahu apa yang telah terjadi dan juga Maha Tahu apa yang akan terjadi, termasuk adanya kemajuan ilmu falak dan ilmu-ilmu lainnya. Walaupun demikian halnya Allah telah berfirman :

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ‏‎ ‎فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat hilal bulan (Ramadhan) maka berpuasalah.”

Dan Rasulullah telah menjelaskannya pula dengan sabda beliau :

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal.“ (Al-Hadits)

Maka Allah mengaitkan puasa bulan Ramadhan dan ‘Idul Fithri dengan cara ru`yatul hilal, dan Allah tidak mengaitkannya dengan mengetahui bulan Ramadhan berdasarkan hisab astronomi (ilmu falak). Padahal Allah Ta’ala Maha Tahu bahwa para ahli falak akan mencapai kemajuan dalam ilmu hisab astronomi mereka dan ketepatan dalam menentukan peredaran bintang-bintang.

Maka wajib atas kaum muslimin untuk kembali kepada syari’at yang Allah tetapkan atas mereka melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dalam urusan berpuasa dan berbuka tetap berpegang pada cara ru`yatul hilal, karena yang demikan itu telah menjadi ijma’ ahlul ilmi. Barangsiapa menyelisihi yang demikian itu dan meyakini kebenaran hisab astronomi (falak), maka pendapatnya syadz dan tidak bisa dipercaya.

Hanya kepada Allahlah kita memohon taufiq, semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarganya dan para shahabatnya.

Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts al-’ilmiyah wal ifta’
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : ‘Abdullah bin Qu’ud

Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Pembatal Puasa

Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Pembatal Puasa - Kami tampilkan beberapa fatwa dari 'Ulama tentang beberapa pertanyaan seputar pembatal puasa. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Berikut Pertanyaan dan jawaban dari 'ulama:

1. PERTANYAAN: Saya (penanya) mempunyai seorang paman, saudara kandung dari ayah, yang telah lanjut usia, sehingga dia sudah tidak dapat mengenali dirinya dan tidak pula mengetahui apa yang ada di sekelilingnya. Keadaannya sudah seperti anak kecil, tidak mampu melaksanakan puasa tidak pula shalat. Saya mohon penjelasan, apakah harus mengeluarkan sesuatu untuk mengganti puasanya, sedangkan dia tidak mempunyai kemampuan untuk itu, seperti memberi makan orang miskin atau sedekah …dst?

JAWABAN:

Jika demikian kenyataan dan keadaannya, sebagaimana yang telah anda terangkan tentang keadaan pamanmu yang sudah tidak berakal lagi/tidak dapat mengenali manusia dan tidak pula mengetahui apa yang ada di sekelilingnya …dst, dan anda selalu berusaha untuk menegakkan apa yang menjadi kewajiban baginya, maka tidak wajib baginya shalat, puasa dan tidak pula memberi makan kepada fuqara dan kaum miskin. Shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad keluarga dan para shahabatnya.

2. PERTANYAAN: Apa hukum orang yang menghidupkan bulan Ramadhan dengan puasa, shalat, membaca Al-Qur’an dan dengan ibadah-ibadah yang lain …, sedangkan di luar bulan Ramadhan dia meremehkan semua perkara tersebut seakan-akan dia mengambil hal itu dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bulan Ramadhan ke bulan Ramadhan sebagai penghapus/penebus dosa yang ada di antara keduanya.”?

JAWABAN:

Barangsiapa bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan dengan amalan shalih, sedangkan di selain Ramadhan menggampangkan/meremehkan amalan-amalan itu, maka orang tersebut dikhawatirkan tidak diterima amalannya, karena syarat sahnya taubat ialah bertekad untuk tidak kembali kepada perbuatan maksiat setelah taubat darinya. -Ketika sebagian orang salafush shalih ditanya tentang orang-orang yang demikian, dikatakan, bahwa mereka itu sejelek-jelek kaum yang tidak mengenal Allah, kecuali di bulan Ramadhan saja-. Tidak ada hujjah bagi mereka akan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: “Ramadhan ke Ramadhan menghapus dosa di antara keduanya,” karena lanjutan haditsnya menyatakan: “Selama dosa-dosa besar dijauhi.” Maka dosa-dosa yang dihapus dengan datangnya bulan Ramadhan dan selainnya hanyalah dosa-dosa kecil, sedangkan meremehkan shalat fardhu merupakan dosa besar yang paling besar dan perbuatan itu tidak akan dihapuskan, kecuali dengan taubat yang benar.

3. PERTANYAAN: Apa hukumnya menjalankan puasa sunnah, seperti enam hari di bulan Syawwal, pada tanggal 10 Dzul Hijjah, hari ‘Asyuraa bagi orang yang masih mempunyai hutang puasa Ramadhan dan belum diganti?

JAWABAN:

Yang wajib bagi orang tersebut mengqadha puasa Ramadhannya sebelum menjalankan puasa sunnah, karena kewajiban itu lebih penting daripada nafilah, sesuai dengan pendapat yang shahih dari ucapan ahli ilmu.

4. PERTANYAAN: Saudara wanita saya (penanya) sengaja mengeluarkan apa yang ada di dalam perutnya (memuntahkan) kemudian sengaja memakan makanan, maka apa yang wajib dilakukan olehnya?

JAWABAN:

Tidak diperkenankan bagi orang yang berpuasa sengaja mengeluarkan isi perutnya dengan cara memasukkan tangan ke dalam rongga mulutnya atau menjadikan di bawah perutnya atau mencium sesuatu yang berbau yang bisa menggerakkan makanan yang ada di dalam perut dan selainnya sampai keluar isi perutnya. Kapan saja hal ini dilakukan oleh orang yang berpuasa, maka ada keharusan baginya mengganti puasa, jika puasa itu puasa wajib. Sedangkan perempuan tersebut dia telah terjerumus ke dalam kekeliruan: pertama, sengaja memuntahkan isi perutnya; kedua, sengaja memakan makanan setelah itu. Sesungguhnya orang yang telah merusak puasanya dengan sengaja dibarengi dengan melakukan sebagian hal-hal yang membatalkan puasa tidak diperkenankan baginya untuk makan dan lainnya, bahkan dia harus menahan dirinya (dari makan dan minum) di sisa hari ketika dia berbuka dengan sengaja tersebut, walaupun dia diharuskan mengqadha puasanya (membayar puasanya di hari lain). Dan mungkin dia akan merasakan sakit atau lemah pada badannya, namun dengan itu semua tidak ada kewajiban baginya membayar kaffarah -insya Allah-. Wallahu a’lam.

5. PERTANYAAN: Saya (penanya) menghabiskan waktu siang hari dalam puasa saya dengan tidur, yang mana aku tidak mampu bekerja dikarenakan rasa lapar dan dahaga yang sangat, apakah hal ini berpengaruh dengan sahnya puasa saya?

JAWABAN:

Apa yang anda lakukan ini tidak mempengaruhi sahnya puasa dan dalam hal ini terdapat tambahan pahala sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Pahalamu sesuai dengan kadar kesungguhanmu.” Maka setiap bertambah kelelahan seseorang, bertambah pula pahalanya dan baginya dapat melakukan apa-apa yang bisa meringankan ibadahnya, seperti mandi dengan air dan duduk di tempat yang teduh.

6. PERTANYAAN: Apakah mimpi junub (mimpi dengan mengeluarkan sperma) pada malam hari dapat merusak puasa seseorang?

JAWABAN:

Mimpi junub itu merupakan hal yang dipaksakan, bukan hasil usaha manusia dan tidak ada daya upaya untuk menolaknya. Maka bila seorang yang berpuasa mimpi junub di siang hari, tidaklah membatalkan puasanya, walaupun berulang-ulang, karena hal itu terjadi di saat seorang sedang tidur. Dan bagi orang yang tidur itu telah diangkat darinya pena (untuk catatan amal -ed.) sampai dia bangun dari tidurnya. Adapun mimpi junub pada malam hari, maka saya tidak mengetahui dari seorangpun yang mengatakan batalnya puasa tersebut, bahkan jima’ (menyetuhi istrinya) pada malam hari di bulan Ramadhan dibolehkan sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

“Dihalalkan buat kalian pada malam puasa untuk menggauli istri-istri kalian.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Adapun berjima’ di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa dan orang yang melakukannya wajib untuk membayar kaffarah. Wallahu a’lam.

7. PERTANYAAN: Apa hukum seorang (laki-laki) yang berduaan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya di siang hari bulan Ramadhan dan si lelaki meminta kepada si wanita untuk membuka auratnya guna memuaskan syahwatnya, tanpa melakukan hubungan seks. Namun, cumbu rayu itu berakibat sampai mengeluarkan sperma, apakah puasa orang yang seperti ini benar? Jika tidak sah puasanya, apakah ia hanya wajib mengqadha’ atau mengqadha’ dan membayar kaffarah?

JAWABAN:

Bila keadaannya demikian, maka si lelaki dan si wanita tersebut telah berdosa akibat perbuatan khalwat (berduaan, ed.) yang mereka lakukan berdua dan membuka auratnya agar si lelaki dapat menikmatinya. Maka mereka hendaknya memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dengan taubat yang benar lagi jujur. Dan bagi orang yang tidak mengeluarkan sperma tidak ada kewajiban untuk mengqadha’ puasa hari itu. Adapun yang sampai mengeluarkan sperma dari salah satunya, maka wajib baginya untuk mengqadha’ (mengganti puasanya di hari lain) tanpa membayar kaffarah, karena membayar kaffarah itu wajib bagi orang yang melakukan hubungan seks saja secara khusus di siang hari pada bulan Ramadhan, walaupun tidak sampai mengeluarkan sperma.

8. PERTANYAAN: Apa hukum menggunakan suntikan yang dimasukkan ke urat leher dan suntikan yang dimasukkan ke otot …. Apa perbedaan antara keduanya bagi orang yang berpuasa?

JAWABAN:

Yang benar, bahwa keduanya tidak membatalkan puasa. Sedangkan yang membatalkan puasa hanyalah cairan infus secara khusus. Demikian pula mengambil darah untuk donor, hal itu tidak membatalkan puasa, karena donor darah tidak sama dengan hijamah (canduk/bekam). Adapun hijamah, orang yang menghijamah dan yang dihijamah keduanya batal puasanya menurut pendapat ulama yang paling shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam.”

9. PERTANYAAN: Apa hukum menggunakan pasta gigi, tetesan telinga, tetesan hidung dan tetesan mata bagi orang yang berpuasa dan apa pula hukumnya bila ia mendapati rasa dari tetesan (hidung dan mata) tersebut di kerongkongannya?

JAWABAN:

Membersihkan gigi dengan pasta gigi tidaklah membatalkan puasa, seperti siwak, tetapi wajib untuk berhati-hati agar jangan sampai masuk ke dalam rongga kerongkongannya. Jika masuk hanya sedikit darinya tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak perlu dia mengqadha puasanya. Demikian pula tetesan mata dan telinga keduanya tidak membatalkan puasa sesuai dengan pendapat ulama yang shahih.

Jika didapati rasa tetesan di dalam kerongkongan, maka mengqadhanya dalam rangka hati-hati (ihtiyath) saja dan tidak wajib, karena keduanya bukanlah tempat dilaluinya makanan dan minuman. Adapun tetesan di hidung, maka tidak dibolehkan, karena hidung tempat pelaluan, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), kecuali kalau kamu dalam keadaan puasa.”

Maka bagi orang yang melakukan hal itu wajib untuk mengqadha puasanya berdasarkan hadits ini dan apa yang ada dalam maknanya, jika didapati rasa keduanya di dalam kerongkongan. Wallahu waliyyut taufiq.

10. PERTANYAAN: Apabila seorang yang berpuasa mendapati rasa sakit pada giginya, lalu ia mendatangi dokter dan si dokter melakukan pembersihan atau mencabut salah satu giginya, apakah hal ini berpengaruh terhadap puasanya? Seandainya dokter tersebut juga memberikan suntikan bius untuk giginya, adakah hal itu mempengaruhi puasanya?

JAWABAN:

Tidak ada pengaruh apapun atas keabsahan puasanya, bahkan hal itu merupakan hal yang dimaafkan dan wajib baginya untuk menjaga agar tidak menelan sesuatu dari obat atau darah. Demikian pula, suntikan tersebut tidak mempengaruhi keabsahan puasa, karena perkara itu tidak mengandung makna makan dan minum…. Maka hukum asalnya adalah sah dan selamat puasanya.

11. PERTANYAAN: Apa hukum orang yang makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan dalam keadaan lupa?

JAWABAN:

Tidak mengapa, puasanya sah sesuai dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Dan telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Telah aku lakukan.” Dan juga telah terdapat riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa yang lupa sedangkan ia dalam keadaan puasa, makan dan minum, hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum.” (Muttafaqun ‘alaih)

Demikian pula bila ia berjimak dengan istrinya karena lupa di siang hari bulan Ramadhan, maka puasanya (tetap) sah sesuai dengan pendapat ulama yang paling shahih, berdasarkan ayat dan hadits yang mulia tersebut dan sesuai pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:

“Barangsiapa berbuka di bulan Ramadhan dalam keadaan lupa, maka tidak ada qadha baginya dan tidak pula kaffarah.” (Hadits ini telah dikeluarkan dan dishahihkan oleh Al-Hakim)

Lafadz ini meliputi: jima’/bersetubuh dan selainnya dari hal-hal yang membatalkan puasa, bila dilakukan oleh orang yang berpuasa karena lupa. Dan ini merupakan rahmat Allah Ta’ala, keutamaan dan kebaikan-Nya. Segala puji bagi-Nya dan syukur atas kenikmatan-Nya.

12. PERTANYAAN: Apa hukum orang yang meninggalkan qadha puasa sampai datang Ramadhan berikutnya, tanpa ada udzur, apakah cukup baginya bertaubat disertai mengqadha atau harus membayar kaffarah?

JAWABAN:

Wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memberi makan seorang kaum miskin setiap harinya disertai dengan mengqadah, yaitu setengah sha’ ukuran tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari hasil pangan negeri, seperti: kurma atau gandum, beras atau selainnya. Dan perkiraan ukurannya adalah satu setengah kilogram. Dan tidak ada kafarah untuknya selain itu, sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok sahabat radhiyallahu ‘anhum, di antaranya: Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Adapun jika ia mempunyai udzur sakit, safar atau seorang wanita yang terhalang oleh kehamilan atau menyusui yang akan memberatkan kalau dia menjalankan puasa, maka tidak wajib bagi mereka mengqadha.

13. PERTANYAAN: Apa hukum keluar darah bagi orang yang berpuasa, seperti keluar darah dari hidung dan selainnya? Dan apakah boleh bagi orang yang berpuasa menyumbangkan atau mengambil sedikit darahnya untuk donor?

JAWABAN:

Keluarnya darah dari orang yang berpuasa, seperti darah yang keluar dari hidung dan darah istihadhah (bagi wanita -pent.) dan selain keduanya, tidaklah merusak puasa. Yang merusak puasa adalah darah haid, nifas serta hijamah (canduk/bekam).

Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa melakukan transfusi darah sesuai dengan keperluaannya dan hal itu tidak akan merusak puasanya. Dan donor darah yang paling baik dilakukan setelah waktu berbuka, karena pada saat itu darah akan keluar banyak sekali, menyerupai hijamah. Wallahu waliyyut taufiq.

14. PERTANYAAN: Apa hukum menggunakan penyemprot di mulut bagi orang yang berpuasa di siang hari untuk orang yang berpenyakit asma dan selainnya?

JAWABAN:

Hukumnya boleh, apabila terpaksa untuk melakukannya, sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla:

“Kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’aam: 119)

Di samping itu, bahwa yang dilakukannya itu tidaklah menyerupai makanan dan minuman, akan tetapi menyerupai pengambilan darah untuk didonorkan dan suntikan yang tidak mengenyangkan (suntikan yang tidak sejenis dengan infus -pent.).

15. PERTANYAAN: Apa hukum bagi orang yang berpuasa disuntik untuk suatu keperluan?

JAWABAN:

Hukumnya tidak dilarang dalam hal itu, apabila dibutuhkan oleh orang yang sakit menurut pendapat ulama yang paling shahih. Dan pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan sekelompok besar dari kalangan ahli ilmu, karena tidak ada persamaannya dengan makanan dan minuman.

16. PERTANYAAN: Apa hukum mengubah darah (cuci darah) bagi orang yang sakit gagal ginjal, padahal sedang berpuasa, haruskah dia mengqadha?

JAWABAN:

Diharuskan mengqadha dengan alasan adanya penambahan darah yang bersih tersebut. Dan bila penambahannya itu bersama dengan materi yang lain, maka hal itu adalah pembatal yang lain.

17. PERTANYAAN: Apakah orang-orang yang sedang memerangi musuh di medan perang (jihad) diperbolehkan untuk berbuka (tidak puasa) di bulan Ramadhan dan mengganti setelahnya (qadha)?

JAWABAN:

Apabila mereka yang memerangi orang-orang kafir dalam keadaan musafir, boleh baginya mengqashar shalat dan diperkenankan pula untuk berbuka dengan kewajiban bagi mereka untuk mengganti (qadha) setelah bulan Ramadhan. Dan jika tidak dalam keadaan musafir, yakni bahwa orang-orang kafir melakukan penyerangan terhadap negeri/kota mereka, maka bagi siapapun yang mampu berpuasa sambil berjihad, wajib berpuasa dan bagi yang tidak mampu mengumpulkan antara puasa dan jihad, boleh baginya untuk berbuka dan wajib baginya mengqadha puasa sesuai dengan hari yang ditinggalkan selepas bulan Ramadhan.

Sumber: Tuntunan Ibadah Ramadhan & Hari Raya oleh Syaikh Bin Baz, Syaikh Bin Utsaimin dll