Monday 30 September 2013

Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu?

Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu? - Apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu? Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43)

Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)

Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)

Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu. Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu.

Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri [1] dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaukan (oleh ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini) adalah jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).”

Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)

Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)

Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengabarkan:
“Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Catatan kaki:
[1] Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita- wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49) Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.

Sumber: Majalah Asy Syariah no. 12/I/1425 H/2005, hal. 34-37.

Hukum Meminta Bantuan Dukun Bayi

Hukum Meminta Bantuan Dukun Bayi - Pertanyaan: Mohon penjelasan tentang hukum minta tolong kepada ‘dukun bayi’ ketika persalinan, yang belum jelas kepastiannya apakah ia menggunakan ‘doa-doa khusus’ atau tidak. Jazakumullahu khairan. (Ummahat Depok, 081385452***)

Di jawab Oleh: Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi:

Ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan:

Pertama, istilah “dukun bayi” belum tentu bermakna dukun yang sering mengaku mengetahui ilmu ghaib dan semisalnya. Hal ini karena dalam masyarakat kita, istilah tersebut banyak dipakai dalam makna bidan menurut istilah umum. Oleh karena itu, kita harus membedakan dua hal: antara dukun yang mengaku mengetahui ilmu ghaib (yang tentunya diharamkan untuk meminta bantuan darinya) dan bidan (merupakan suatu keahlian/bidang pekerjaan yang baik dan diperbolehkan.

Kedua, doa-doa yang dibaca dalam perbidanan tergolong ke dalam pembahasan ruqyah. Sementara itu, ruqyah yang disyariatkan harus memenuhi beberapa syarat:

(1) harus diyakini bahwa manfaat itu datang dari Allah,

(2) tidak menyalahi syariat, dan

(3) hendaknya menggunakan bahasa yang dipahami dan dimaklumi. Wallahu a’lam.

Sumber: Jurnal Asy-Syifa edisi 02/1432/2011, hal. 58. Wallahu A’lam.

Amalan Dzikir Ba’da Sholat Subuh

Amalan Dzikir Ba’da Sholat Subuh - Tanya: Bismillah, Ustadz yang ana cintai karena Allah, barakallahufikum. Ana bertanya: Amalan dzikir ba’da sholat subuh sampai terbit matahari dan dilanjutkan sholat sunnat 2 rakaat pernah atau sering dilakukan oleh Shalafus Sholeh?. Apakah boleh kita melakukan amalan tersebut setiap hari?. Jazakallahkhair.

Dijawab oleh Ust. Dzulqarnain:

Bismillah. Ahabbakumullahu Al-Ladzi ahbabtana fiihi. Semoga Allah menjadikan kita semua dari orang-orang yang saling mencintai karena-Nya.

Berdzikir setelah sholat subuh hingga matahari terbit adalah hal yang dituntunkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi Wa sallam dan dilakukan oleh para Salaf kita yang sholih. Hal tersebut dijelaskan dalam sejumlah hadits dan atsar.

Adapun melakukan sholat dua rakaat setelah matahari terbit, bila hal tersebut dianggap sholat Dhuha maka tidak masalah, karena sholat Dhuha adalah hal yang disyariatkan untuk dilaksanakan bila matahari telah terbit setinggi tombak.

Bila maksud dari sholat dua raka’at itu adalah sholat yang disebut dengan nama sholat Isyraq, maka hal tersebut telah terjadi silang pendapat di kalangan ulama ahli hadits akan keabsahannya dari sisi periwayatan. Syaikh Al-Albany menguatkan hadits tersebut. Guru kami, Syaikh Muqbil dan selainnya melemahkannya.

Dari apa yang pernah saya bahas, kelihatannya masih membuat saya condong kepada pendapat yang melemahkannya. Wallahu A’lam.

Tuesday 24 September 2013

Perkara yang Terlarang bagi Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya

Perkara yang Terlarang bagi Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya -

Dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallohu ‘anha,beliau berkata: ”Kami kaum wanita dilarang untuk melakukan iddah (berkabung) terhadap mayyit lebih dari 3 hari, kecuali atas suami, yakni 4 bulan 10 hari. Tidak boleh memakai celak, dilarang memakai parfum, dilarang memakai pakaian yang dicelup warna-warni kecuali pakaian ‘ashob (jenis kain dari Yaman, yang dicelup sebagiannya, sebagiannya tidak dicelup/masih berwarna putih), dan kami diberi rukhsoh ketika bersuci dari haid (maksudnya saat mandi suci) untuk menggunakan sedikit wewangian -sedikit saja- dari 2 macam dupa yang ma’ruf dan kami tidak mengantar jenazah.” (Shohih, HR. Bukhori dan Muslim)


Dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallohu ‘anha, bahwasanya Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah seorang wanita melakukan iddah lebih dari 3 hari kecuali terhadap kematian suaminya, yakni 4 bulan 10 hari. Jangan memakai pakaian yang dicelup warna warni kecuali ‘ashob, jangan bercelak, jangan memakai wewangian kecuali ketika mandi suci dari haid, boleh menggunakan sedikit saja wewangian (di farjinya).” Ada tambahan dari Ya’qub, “dan jangan memakai inai.” (Shohih, HR. Abu Daud)

Dari Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha, bahwasanya Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yang ditinggal mati suaminya jangan memakai pakaian yang berwarna kuning dan merah, jangan memakai perhiasan, jangan memakai celak dan jangan memakai inai.” (Shohih, HR. Abu Daud, An-Nasa’i, Ahmad & Baihaqi)


“Rosulullohu sholallohu ‘alaihi wa sallam melarang wanita yang ditinggal mati suaminya untuk memakai minyak wangi dan berhias” (Shohih, dari Ibnu ‘Abbas)


Imam Atho’ bin Abi Robah rahimahullah berkata, “Bahwasanya Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma memerintahkan wanita yang ditinggal mati suaminya untuk meninggalkan wewangian.”


Dan berkata Atho’: “Saya melarang wewangian, perhiasan dan jauhilah pakaian yang indah, jangan memakai pakaian yang dicelup warna warni.” (Shohih, dari Atho’)


Kesimpulan
Dari sejumlah hadits-hadits dan atsar di atas, dijelaskan bahwa wanita dalam keadaan iddah wajib menjauhi:
1. Celak
2. Parfum/wewangian
3. Pakaian yang dicelup warna-warni kecuali ‘ashob
4. Inai/pacar
5. Pakaian berwarna kuning & merah
6. Perhiasan dan berhias.

Allohu ta’ala a’lam.

[Diringkas dari kitab Jami’ Ahkamun Nisaa’ juz II; bab Ihdad wal iddah]

Sumber: http://ummfulanah.wordpress.com/2009/05/27/perkara-yang-terlarang-bagi-wanita-yang-ditinggal-mati-suaminya/

Memakai Celak Bagi Wanita Dan Juga Bagi Lelaki?

Memakai Celak Bagi Wanita Dan Juga Bagi Lelaki?Masalah bercelak ada dua macam:

Pertama: Bercelak dengan tujuan menajamkan pandangan mata dan menghilangkan kekaburan dari mata, membersihkan mata dan menyucikannya tanpa ada maksud berdandan. Hal ini diperkenankan. Bahkan termasuk perkara yang semestinya dilakukan (bagi lelaki maupun wanita, pen.) Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencelaki kedua mata beliau, terlebih lagi bila bercelak dengan itsmid (Celak jenis tertentu).

Kedua: Bercelak dengan tujuan berhias dan dipakai sebagai perhiasan. Hal ini dituntut untuk dilakukan para wanita/istri, karena seorang istri dituntut berhias untuk suaminya. Adapun bila lelaki memakai celak dengan tujuan yang kedua ini maka harus ditinjau ulang masalah hukumnya. Saya sendiri bersikap tawaqquf (tidak melarang tapi tidak pula membolehkan, pen.) dalam masalah ini. Terkadang pula dibedakan dalam hal ini antara pemuda yang dikhawatirkan bila ia bercelak akan menimbulkan fitnah, maka ia dilarang memakai celak, dengan orang tua (lelaki yang tidak muda lagi) yang tidak dikhawatirkan terjadi fitnah bila ia bercelak.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 8-11)

Dalam masalah sepatu bertumit tinggi, Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Al-Walid Abdul Aziz ibn Abdillah ibnu Baz rahimahullahu memfatwakan, “Memakai sepatu bertumit tinggi tidak boleh, karena dikhawatirkan wanita yang memakainya berisiko jatuh. Sementara seseorang diperintah secara syar’i untuk menjauhi bahaya berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian kepada kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ

“Janganlah kalian membunuh jiwa kalian.” (An-Nisa’: 29)

Selain itu, sepatu bertumit tinggi akan menampakkan tubuh wanita lebih dari yang semestinya (lebih tinggi dari postur sebenarnya, pen.). Tentunya yang seperti ini mengandung unsur penipuan. Dengan memakai sepatu bertumit tinggi berarti menampakkan sebagian perhiasan yang sebenarnya dilarang untuk ditampakkan oleh wanita muslimah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka atau bapak-bapak mereka atau bapak-bapak mertua mereka (ayah suami) atau anak-anak laki-laki mereka atau anak-anak laki-laki dari suami-suami mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka atau anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki dari saudara lelaki) atau keponakan laki-laki dari saudara perempuan mereka atau di hadapan wanita-wanita mereka.” (An-Nur: 31) [Fatwa no. 1678, Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 17/123-124]

Sumber: www.Asysyariah.com

Hukum Memakai Pemerah Bibir (Lipstik)

Hukum Memakai Pemerah Bibir (Lipstik)1.Pertanyaan Secara khusus, apa hukum memakai pemerah bibir (lipstik)?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Tidak mengapa memakai pemerah bibir. Karena hukum asal sesuatu itu halal sampai jelas keharamannya. Lipstik ini bukan dari jenis wasym/tato (Sementara untuk tato ini terdapat keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaknat wanita yang membuat tato dan wanita yang minta ditato (HR. Al-Bukhari dan Muslim)., karena wasym itu menanam salah satu warna di bawah kulit.

Perbuatan ini diharamkan, bahkan termasuk dosa besar. Akan tetapi bila lipstik tersebut jelas memberikan madharat bagi bibir, membuat bibir kering dan kehilangan kelembabannya, maka terlarang. Pernah disampaikan kepada saya, lipstik tersebut terkadang membuat bibir pecah. Bila memang pasti hal yang demikian, maka seorang insan dilarang melakukan perkara yang dapat memadharatkan dirinya.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 35)

2.Pertanyaan

Apakah diperkenankan seorang wanita memakai make-up untuk suaminya?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Seorang istri berhias untuk suaminya dalam batasan-batasan yang disyariatkan, merupakan perkara yang memang sepantasnya dilakukan oleh seorang istri. Karena setiap kali si istri berhias untuk tampil indah di hadapan suaminya, jelas hal itu akan lebih mengundang kecintaan suaminya kepadanya dan akan lebih merekatkan hubungan antara keduanya. Hal ini termasuk tujuan syariat. Bila make-up itu memang mempercantik si wanita dan tidak memadharatkannya, tidaklah mengapa dipakai dan tidak ada dosa.

Namun masalahnya, saya pernah mendengar make-up tersebut bisa berdampak buruk pada kulit wajah, serta mengubah kulit wajah si wanita di kemudian hari menjadi rusak sebelum masanya rusak disebabkan usia. Karena itu saya menyarankan agar para wanita bertanya kepada dokter tentang hal tersebut. Bila memang demikian dampak/efek samping make-up, maka pemakaian make-up bisa jadi haram atau minimalnya makruh. Karena segala sesuatu yang mengantarkan manusia pada keburukan dan kejelekan, hukumnya haram atau makruh.

Kesimpulannya dalam masalah make-up ini, kami melarangnya bila memang make-up tersebut hanya menghiasi wajah sesaat, tetapi membuat madharat yang besar bagi wajah dalam jangka lama. Karena itulah kami menasihatkan kepada para wanita agar tidak memakai make-up disebabkan madharatnya yang pasti.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 11-12, 35-36)

3.Pertanyaan

Marak di kalangan remaja putri kebiasaan memotong rambut hingga pundak dalam rangka berdandan. Demikian pula memakai sepatu bertumit sangat tinggi dan bermake-up. Lantas apa hukum dari perbuatan-perbuatan tersebut?

Pertanyaan berikutnya, apa hukum memakai celak bagi wanita dan juga bagi lelaki?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu memberikan fatwa dalam masalah di atas, “Potongan rambut wanita bisa jadi modelnya menyerupai potongan rambut laki-laki dan bisa jadi tidak. Bila sekiranya modelnya seperti potongan rambut laki-laki maka hukumnya haram dan termasuk dosa besar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang tasyabbuh/menyerupai laki-laki (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Libas, bab Al-Mutasyabbihina bin Nisa’ wal Mutasyabbihat bir Rijal)

Bila modelnya tidak sampai menyerupai laki-laki, maka ulama berbeda pendapat hingga menjadi tiga pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan boleh, tidak mengapa. Di antaranya ada yang berpendapat haram. Pendapat yang ketiga mengatakan makruh. Yang masyhur dari madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu adalah perbuatan tersebut makruh.

Sebenarnya, memang tidak sepantasnya kita menerima segala kebiasaan dari luar yang datang pada kita. Belum lama dari zaman ini, kita melihat para wanita berbangga dengan rambut mereka yang lebat dan panjang. Tapi kenapa keadaan mereka pada hari ini demikian bersemangat memendekkan rambut mereka? Mereka telah mengadopsi kebiasaan yang datang dari luar negeri kita. Saya tidaklah bermaksud mengingkari segala sesuatu yang baru. Namun saya mengingkari segala sesuatu yang mengantarkan perubahan masyarakat dari kebiasaan yang baik menuju kepada kebiasaan yang diambil dari selain kaum muslimin.

Adapun sandal ataupun sepatu yang tinggi, tidak boleh digunakan apabila tingginya di luar kebiasaan, mengantarkan pada tabarruj, dan (dengan maksud) mengesankan si wanita tinggi serta menarik pandangan mata lelaki. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)

Maka, segala sesuatu yang membuat wanita melakukan tabarruj, membuat ia tampil beda daripada wanita lainnya, dengan maksud berhias, maka haram, tidak boleh dilakukannya.

Tentang pemakaian make up, tidak mengapa bila memang tidak memberi madharat atau membuat fitnah.

Sumber: www.Asysyariah.com

Beberapa Pertanyaan Tentang Qorin (Jin Pendamping Manusia)

Beberapa Pertanyaan Tentang Qorin (Jin Pendamping Manusia) - Pertanyaan: Assalamualaikum, Ustadz, ana ingin menanyakan suatu hal berkaitan dengan jin pendamping manusia, apakah benar (ada hadistnya) tentang jin pendamping manusia? Karena ana dulu pernah membaca suatu buku (afwan lupa judulnya) yang mengatakan jin pendamping Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam masih hidup. Apakah makhluk halus yang dilihat sebagian manusia baik itu berupa kuntilanak, pocong, atau lainnya adalah jin biasa atau jin pendamping yang menyerupai manusia yang didampinginya sewaktu hidup? Apakah ada buku referensi mengenai hal ini? Jazaakumullahu khair.

Jawaban:

Oleh Al-Ustadz Dzulqornain bin Muhammad Sunusi

Bismillah, untuk pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan.
Satu, tentang setiap manusia mempunyai qarin (pendamping). Mungkin bisa dicermati dari beberapa nash dalil. Di antaranya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla,
“Siapa yang berpaling dari dzikir kepada Ar-Rahman maka Kami akan buat syaithon berkuasa terhadapnya sehingga dia menjadi qorinnya.” (Az-Zukhruf: 36)

Makna qorin dalam ayat adalah syaithan yang terus menggodanya, melalaikan dan menyesatkannya. Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak seorang pun dari kalian kecuali telah diwakilkan kepada qarinnya dari Jin.” Shahabat bertanya, “Juga kepada engkau wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Juga kepadaku. Namun Allah telah membantuku sehingga (qarinku) masuk islam (boleh juga diterjemah sehingga aku selamat darinya). Maka dia tidak menyuruhkan kecuali hanya dengan kebaikan.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud)

Juga suatu hari ‘Aisyah radhiyyallahu ‘anha cemburu terhadap Rasulullah yang keluar di waktu malam, maka beliau bersabda, “Apakah syaithanmu telah mendatangimu?” Aisyah menjawab, “Wahai Rasulullah, apa bersama saya ada syaithan?” Beliau menjawab, “Iya.” Aisyah bertanya, “Apakah bersama setiap insan?” Beliau menjawab, “Iya.” Aisyah bertanya, “Juga bersama engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Iya. Tapi Allah membantuku terhadapnya sehingga aku selamat.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim)


Dua, Penjelasan tentang adanya qarin pada setiap manusia adalah peringatan untuk menghindari fitnah dan was-was serta penyesatannya, sehingga setiap orang menghindari segala perkara yang bisa mengantarnya kepada dosa dan agar dia senantiasa berlaku taat kepada Allah dan selalu berdzikir mengingat-Nya.

Tiga, Adanya Jin adalah hal yang dimaklumi. Tapi harus diingat bahwa tidak boleh seorang muslim menggunakan istilah-istilah pocong, kuntilanak dan semisalnya dari kamus orang-orang yang rusak keyakinannya. Kalau pun ada dari manusia yang pernah menyaksikan hal tersebut, maka itu hanya tipu daya dari jin atau syaithan untuk menyesatkan. Wallahu A’lam.


Sumber: http://ummfulanah.wordpress.com
* * *
Syaikh Saleh Al-Fauzan hafizahullah ditanya:
Apa makna riwayat yang menyebutkan bahwa setiap manusia memiliki pendamping (qorin) dari kalangan jin. Apakah benar bahwa qorin tersebut mengabarkan manusia tentang perkara-perkara yang telah terjadi atau yang akan terjadi dalam waktu dekat?
Beiau menjawab:


‏ ﺃﻣﺎ ﺍﻹﺧﺒﺎﺭ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺒﻞ ﻓﻼ ﻳﻌﻠﻤﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻼ ﺃﺣﺪ ﻳﺨﺒﺮ ﻋﻦ ﻫﺬﺍ ﻻ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻦ ﻭﻻ ﻣﻦ ﺍﻹﻧﺲ ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ” ﻋﺎﻟﻢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﻓﻼ ﻳﻈﻬﺮ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺒﻪ ﺃﺣﺪﺍ ” ﻛﻤﺎ ﻳﺄﺗﻴﻜﻢ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺴﻮﺭﺓ ﻭﺃﻣﺎ ﺃﻥ ﻣﻊ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻗﺮﻳﻨﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻦ ﻭﻗﺮﻳﻨﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﻧﻌﻢ ﻣﻊ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻗﺮﻳﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﻳﺪﻟﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻭﻗﺮﻳﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻦ ﻭﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ ﻳﺪﻟﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﺮ ﻓﺄﻳﻬﻤﺎ ﻏﻠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﺎﺭ ﻣﻌﻪ ﺍﺑﺘﻼﺀ ﻭﺍﻣﺘﺤﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ . ﻧﻌﻢ . ‏
Adapun mengabarkan sesuatu yang akan datang maka tidak seorangpun yang mengetahuinya kecuali Allah, tidak seorangpun yang dapat mengabarkan tentang hal ini, baik jin maupun manusia. Alam gaib itu hanya milik Allah Azza wajalla,
“Dialah yang mengetahui alam gaib, maka Dia tidak menampakkan alam gaib itu kepada siapapun.” Sebagaimana yang terdapat pada surah ini.
Adapun masalah setiap manusia memiliki qorin dari kalangan jin dan qorin dari kalangan malaikat maka hal itu benar, setiap manusia memiliki qorin dari malaikat yang membimbingnya kepada kebaikan dan qorin dari kalangan jin dan syaitan yang mengarahkannya kepada keburukan, yang mana yang lebih kuat maka dia yang berjalan bersama manusia itu sebagai ujian dan cobaan dari Allah Azza Wajalla.
Sumber: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=378513
* * *
Syaikh Saleh Al-Fauzan hafizahullah ditanya:
Apakah dapat diambil dari kisah kaum jin yang mendengar Al-Qur’an dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, bahwa kaum jin yang mukmin mereka hadir ketika dibacakan Al-Qur’an di masjid-masjid, dan di berbagai tempat-tempat perkumpulan di saat al-Qur’an dibacakan?
Beliau menjawab:


‏ ﻧﻌﻢ ﺍﻟﺠﻦ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ ﻳﺤﻀﺮﻭﻥ ﺍﻟﺪﺭﻭﺱ ﻳﺤﻀﺮﻭﻥ ﺗﻼﻭﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻊ ﺇﺧﻮﺍﻧﻬﻢ ﺍﻹﻧﺲ ﻳﺤﻀﺮﻭﻥ ﻫﺬﺍ ﻭﺇﻥ ﻛﻨﺎ ﻻ ﻧﺮﺍﻫﻢ ﻓﻬﻢ ﻳﺤﻀﺮﻭﻥ . ﻧﻌﻢ . ‏
Iya, kaum jin yang mukmin menghadiri pelajaran-pelajaran, mereka juga menghadiri bacaan al-Qur’an bersama saudara-saudara mereka dari manusia, mereka hadir, meskipun kita tidak dapat melihat mereka namun mereka hadir.
Sumber: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=378513
Sumber url: http://www.mediasalaf.com/aqidah/tentang-qorin-jin-pendamping-manusia/

Bagaimana Shaf Anak Kecil

Bagaimana Shaf Anak Kecil - Pertanyaan: Pak ustadz,

1. Jika dalam satu shaf barisan orang dewasa belum penuh, apakah diperbolehkan anak-anak mengisi shaf orang dewasa?

2. Jika boleh (poin nomor 1), apakah orang dewasa boleh berdiri diapit oleh anak-anak di sebelah kanan dan kirinya? Apakah sebaiknya memposisikan anak-anak di sebelah kiri atau di sebelah kanan saja?

3. Apakah orang dewasa boleh berdiri di barisan anak-anak (meskipun shaf orang dewasa belum penuh) dengan maksud agar barisan anak-anak tidak ribut sewaktu sholat.

Jazakumullah khairan.

Jawaban oleh Ustadz Dzulqarnain:

1. Anak kecil boleh untuk mengisi shoff di manapun letaknya. Tapi bagian dari belakang imam hendaknya dipenuhi oleh orang dewasa dan didahulukan yang lebih berilmu, berakal dan berkedudukan, sebagaimana telah dimaklumi.

2. Tidak masalah seorang dewasa diapit oleh anak-anak di sebelah kanan dan kirinya. Tidak ada larangan dalam hal tersebut.

3. Orang dewasa harusnya berusaha untuk berada pada shof yang paling depan.

Juga saya ingatkan bahwa tidak dibenarkan mengkhususkan shoff tersendiri bagi anak-anak. Selain hal tersebut tidak ada dalilnya, juga yang demikian termasuk penyebab anak-anak bermain-main dalam sholatnya.

Wallahu a’lam.

Untuk Siapakah Pahala Anak Kecil?

Untuk Siapakah Pahala Anak Kecil? - Pertanyaan: Apakah berbagai amal yang dilakukan anak yang belum baligh, seperti sholat, haji, membaca Al-Qur’an, semuanya diperuntukkan bagi kedua orang tuanya atau dihitung bagi anak itu sendiri?

Jawaban:

Amal sholih anak-anak yang belum baligh pahalanya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orangtuanya atau orang lain. Akan tetapi orang tuanya diberi pahala karena mengajarkan (amal sholih) kepadanya, juga karena mengarahkan dan membantunya kepada kebaikan. Hal tersebut berdasarkan hadits shohih riwayat Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhu, “Bahwasanya ada seorang perempuan mengangkat seorang anak kecil kepada Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam pada waktu haji wada’, lalu ia bertanya, “Wahai Rosulullah, apakah dia memperoleh (pahala) haji?” Beliau menjawab, “Ya, dan bagimu (juga) pahala.” Nabi mengabarkan bahwa haji tersebut (pahalanya) adalah untuk si anak. Sedangkan ibunya juga mendapatkan pahala karena haji anaknya.

Demikian pula selain orangtua akan mendapatkan pahala atas perbuatan baik seorang anak. Seperti orang yang mengajarkan kebaikan kepada anak-anak yatim yang diasuhnya, kerabat dekat, pembantu dan lainnya. Karena Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Sebab hal demikian itu termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, dan Alloh memberi pahala atas yang demikian. [Syaikh Bin Baz, Fatawa Islamiyah, 4/526]

Sumber: http://ummfulanah.wordpress.com/2009/07/29/untuk-siapakah-pahala-anak-kecil/

Sunday 22 September 2013

Hukum Jambul dan Memendekkan Rambut bagi Wanita

Hukum Jambul dan Memendekkan Rambut bagi Wanita - Pertanyaan : Apa hukumnya jambul yang digunakan oleh sebagian wanita? Yaitu jambul rambut dari atas dahi yang dipintal beberapa helai kemudian dibiarkan terulur ke depan?

Jawaban:

Alhamdulillah, jika tujuan memakai jambul seperti itu untuk menyerupai wanita-wanita kafir dan sesat maka hukumnya jelas haram. Sebab tasyabbuh (meniru-niru) non muslim hukumnya haram. Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam :

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”

Adapun jika tujuannya bukan untuk menyerupai mereka, namun hanya sebatas model yang sedang populer di kalangan wanita, maka menurut kami hal itu boleh, selama hal itu tergolong perhiasan yang dipakai untuk berhias diri di hadapan suami dan dapat menaikkan kedudukannya bila dipakai di hadapan teman-teman sebayanya. (Fatawa Lajnah Daimah V/181)

Pertanyaan : Apa hukumnya wanita yang memendekkan rambutnya karena darurat, misalnya kaum wanita di kerajaan Inggris beranggapan bahwa mencuci rambut panjang adalah suatu hal yang sulit bagi mereka khususnya pada musim dingin, oleh karena itu mereka memendekkan rambut mereka.

Jawab:

Alhamdulillah, mereka dibolehkan memendekkan rambut sesuai kebutuhan jika kondisinya seperti yang diceritakan di atas tadi. Adapun jika mereka memotongnya dengan motif meniru wanita-wanita kafir tentu saja tidak dibolehkan. Berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi:

“Barangsiapa menyerupai satu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”
(Fatawa Lajnah Daimah V/182)

Pertanyaan: Isteriku mengeluh rambutnya banyak yang rontok dan telah dikatakan kepadanya untuk memendekkannya, hal ini akan mengurangi yang rontok (dari rambut). Apakah hal ini diperbolehkan?

Jawaban :

Jika keadaannya seperti disebutkan, maka diperbolehkan (untuk memotong rambut menjadi pendek) karena hal ini akan mencegah kemudharatan lebih lanjut. Dan disisi Allah-lah seluruh kesuksesan dan semoga Allah memberikan sholawat dan salam atas Nabi kita shalallahu `alaihi wasallam dan keluarganya dan sahabatnya.

Komite Tetap untuk Riset Islam Dan Fatawa Saudi Arabia
Ketua : Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullah Ibn Baz
Wakil : Syaikh ‘Abdur-Razaq ‘Afifi
Anggota : Syaikh ‘Abdullah Ibn Ghudayyan
Anggota : Syaikh ‘Abdullah Ibn Qu’ud

[Fataawa al-Lajnah ad-Daimah lil- Buhuts al-’Ilmiyyah Wal-Iftaa Saudi Arabia,- Jilid 5, Halaman 182, Pertanyaan nomor 1 dari fatwa No. 6259; Fatawa wa Ahkaam fi Sya’r an-Nisaa- Pertanyaan 28, Halaman 33]



Hukum Berjabat Tangan dan Mencium Kening Seorang Nenek Tua

Hukum Berjabat Tangan dan Mencium Kening Seorang Nenek Tua - Pertanyaan:Seorang wanita tua, umurnya lebih dari 80 tahun, para lelaki yang bukan mahrom berjabat tangan dengannya dan mencium keningnya. Apakah perbuatan ini diperbolehkan? Berilah kami fatwa semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.

Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab:

“Perbuatan ini tidak boleh. Mungkin ada yang berkata: ‘wanita seperti ini dibolehkan menyingkap wajahnya karena ia termasuk wanita yang tidak lagi berhasrat untuk menikah. Kami katakan, ‘Sesungguhnya berjabat tangan dan mencium kening lebih besar pengaruhnya daripada sekedar menyingkap wajah. Maka tidak boleh.”

[Diterjemahkan sebisanya dari Al-Fatawa Ats-Tusatsiyah, Syaikh Sholih Al-'Utsaimin, hal.35]

Bolehkah Seorang Pengajar Wanita yang Sedang Haidh Mengajar di Masjid?

Bolehkah Seorang Pengajar Wanita yang Sedang Haidh Mengajar di Masjid? - Pertanyaan: Apakah boleh bagi seorang wanita pengajar Al-Qur’an yang sedang haidh duduk di masjid untuk mengajarkan (Al-Qur’an) kepada para siswi?

Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab:

Tidak boleh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan para wanita yang sedang haidh untuk menjauhi musholla ied (tempat sholat ied, pent) padahal itu adalah kebaikan dan dakwah. Demikian pula (Nabi) melarang wanita yang haidh untuk berthowaf di Ka’bah.

(Diterjemahkan dari: Al-Fatawa Ats-Tsulatsiyah, oleh Asy-Syaikh Al-’utsaimin, hal.19)

Sumber:http://warisansalaf.wordpress.com/2010/03/29/fatawa-bolehkah-seorang-pengajar-wanita-yang-sedang-haidh-mengajar-dimasjid/

Bagaimana Ciri-ciri Meninggalnya Seorang Mukmin?

Bagaimana Ciri-ciri Meninggalnya Seorang Mukmin? - Pertanyaan: Assalamu’alaikum, bagaimana ciri-ciri meninggalnya seorang mukmin dan menggeliat ketika nyawa sedang di cabut apakah termasuk di dalamnya?

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Ciri-ciri husnul khatimah adalah hal yang dimaklumi dan dijelaskan oleh para ulama. Diantara yang terbaik menjelaskannya adalah syaikh Al-Albany dari kitab beliau Akhamul Jana`iz. Dan menggeliat adalah suatu hal yang lumrah dalam sakaratul maut dan hal tersebut telah menimpa orang-orang yang sholih dari masa shohabat hingga hari ini.

Bahkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam -sedang beliau adalah makhluk termulia, pemuka para nabi dan rasul, orang yang paling bertakwa- juga mengalami sakarat, sebagaimana yang dimaklumi kisahnya dalam hadits Aisyah riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Dan beliau sendiri bersabda,

“Sesungguhnya pada kematian itu ada sakarat.”

Semoga Allah menutup kita semua dengan husnul khatimah dan meringankan jiwa-jiwa kita yang bergelimang kesalahan dan dosa saat sakaratul maut. Innahu Jawwadun Karim. Wallahu A’lam.

Sumber: http://pakisbintaro.wordpress.com/2009/02/23/tanya-jawab-ciri-ciri-meninggal-seorang-mukmin/

Muntah Najis & Batalkan Wudhu?

Muntah Najis & Batalkan Wudhu? - Dijawab oleh: al-Ustadz Qomar Su’aidi, Lc.

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, Ustadz hafidzakumullah, saya mau bertanya:
1. Apakah muntah itu membatalkan wudhu?
2. Dan apakah muntahan itu najis?
Mohon jawabannya, semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala memberkahi ustadz. (Anto – Yogya)

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh

Segala puji milik Allah Ta’ala, semoga shalawat dan salamnya selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, keluarga dan para sahabatnya.

Terkait dengan apa yang ditanyakan; Pertama, muntah tidak membatalkan wudhu, sehingga sah saja bila seseorang yang masih punya wudhu lalu muntah dan langsung melakukan shalat setelahnya. Akan tetapi lebih baik dan disunnahkan baginya untuk berwudhu. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat yang dituturkan oleh sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu:

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam muntah lalu beliau berbuka dan beliau berwudhu.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi 87 dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)

Kedua, tentang muntahannya, apakah itu najis? Pendapat yang lebih kuat, bahwa muntahan tidak termasuk najis. Hal ini karena tidak adanya dasar dari ayat al-Qur’an maupun hadits shahih yang menunjukkan kenajisannya. Oleh karenanya, pendapat ini menjadi pilihan beberapa ulama di antaranya Ibnu Hazm, asy-Syaukani dan asy-Syaikh al-Albani rahimahumullahu, sebagaimana dapat dilihat penjelasan ini dalam kitab Tamamul Minnah hlm. 53 dan 111. Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah Muslim Sehat vol. 1/edisi 01 1432 H – 2011 M, hal. 78.

8 Hal Keutamaan dalam Berjilbab/Hijab

8 Hal Keutamaan dalam Berjilbab/Hijab - Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kaum wanita untuk menggunakan hijab sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluan-nya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Q.S An-Nur: 31)

1.Hijab Itu Adalah Ketaatan Kepada Allah Dan Rasul
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab: 36)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kaum wanita untuk menggunakan hijab sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluan-nya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Q.S An-Nur: 31)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah.” (Q.S. Al-Ahzab: 33)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yanga artinya): “Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Wanita itu aurat” maksudnya adalah bahwa ia harus menutupi tubuhnya.

2.Hijab Itu ‘Iffah (Kemuliaan)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kewajiban menggunakan hijab sebagai tanda ‘Iffah (menahan diri dari maksiat). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)

Itu karena mereka menutupi tubuh mereka untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan jelek (dosa), “karena itu mereka tidak diganggu”. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka. Dan pada firman Allah “karena itu mereka tidak diganggu” sebagai isyarat bahwa mengetahui keindahan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan berupa fitnah dan kejahatan bagi mereka.

3.Hijab Itu Kesucian
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati hijab sebagai kesucian bagi hati orang-orang mu’min, laki-laki maupun perempuan. Karena mata bila tidak melihat maka hatipun tidak berhasrat. Pada saat seperti ini, maka hati yang tidak melihat akan lebih suci. Ketiadaan fitnah pada saat itu lebih nampak, karena hijab itu menghancurkan keinginan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Q.S. Al-Ahzab: 32)


4.Hijab Itu Pelindung
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya Allah itu Malu dan Melindungi serta Menyukai rasa malu dan perlindungan”

Sabda beliau yang lain (yang artinya): “Siapa saja di antara wanita yang melepaskan pakaiannya di selain rumahnya, maka Allah Azza wa Jalla telah mengoyak perlindungan rumah itu dari padanya.”

Jadi balasannya setimpal dengan perbuatannya.

5.Hijab Itu Taqwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman(yang artinya): “Hai anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.” (Q.S. Al-A’raaf: 26)

6.Hijab Itu Iman
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berfirman kecuali kepada wanita-wanita beriman (yang artinya):“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman.” (Q.S. An-Nur: 31).
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman (yang artinya): “Dan istri-istri orang beriman.” (Q.S. Al-Ahzab: 59).
Dan ketika wanita-wanita dari Bani Tamim menemui Ummul Mu’minin, Aisyah radhiyallahu anha dengan pakaian tipis, beliau berkata: “Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.”

7.Hijab Itu Haya’ (Rasa Malu)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.”

Sabda beliau yang lain (yang artinya):“Malu itu adalah bagian dari iman dan iman itu di surga.”

Sabda Rasul yang lain (yang artinya): “Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.”

8.Hijab Itu Perasaan Cemburu
Hijab itu selaras dengan perasaan cemburu yang merupakan fitrah seorang laki-laki sempurna yang tidak senang dengan pandangan-pandangan khianat yang tertuju kepada istri dan anak wanitanya. Berapa banyak peperangan terjadi pada masa Jahiliyah dan masa Islam akibat cemburu atas seorang wanita dan untuk menjaga kehormatannya. Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa wanita-wanita kalian berdesak-desakan dengan laki-laki kafir orang ‘ajam (non Arab) di pasar-pasar, tidakkah kalian merasa cemburu? Sesungguhnya tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak memiliki perasaan cemburu.”

Beberapa Syarat Hijab Yang Harus Terpenuhi:

1. Menutupi seluruh anggota tubuh wanita -berdasarkan pendapat yang paling kuat.
2. Hijab itu sendiri pada dasarnya bukan perhiasan.
3. Tebal dan tidak tipis atau trasparan.
4. Longgar dan tidak sempit atau ketat.
5. Tidak memakai wangi-wangian.
6. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir.
7. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
8. Tidak bermaksud memamerkannya kepada orang-orang.

Jangan Berhias Terlalu Berlebihan(Tabarruj)
Bila anda memperhatikan syarat-syarat tersebut di atas akan nampak bagi anda bahwa banyak di antara wanita-wanita sekarang ini yang menamakan diri sebagai wanita berjilbab, padahal pada hakekatnya mereka belum berjilbab. Mereka tidak menamakan jilbab dengan nama yang sebenarnya. Mereka menamakan Tabarruj sebagai hijab dan menamakan maksiat sebagai ketaatan.

Musuh-musuh kebangkitan Islam berusaha dengan sekuat tenaga menggelincirkan wanita itu, lalu Allah menggagalkan tipu daya mereka dan meneguhkan orang-orang Mu’min di atas ketaatan kepada Tuhannya. Mereka memanfaatkan wanita itu dengan cara-cara kotor untuk memalingkannya dari jalan Tuhan dengan memproduksi jilbab dalam berbagai bentuk dan menamakannya sebagai “jalan tengah” yang dengan itu ia akan mendapatkan ridha Tuhannya -sebagaimana pengakuan mereka- dan pada saat yang sama ia dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan tetap menjaga kecantikannya.

Kami Dengar Dan Kami Taat
Seorang muslim yang jujur akan menerima perintah Tuhannya dan segera menerjemahkannya dalam amal nyata, karena cinta dan perhomatannya terhadap Islam, bangga dengan syariat-Nya, mendengar dan taat kepada sunnah nabi-Nya dan tidak peduli dengan keadaan orang-orang sesat yang berpaling dari kenyataan yang sebenarnya, serta lalai akan tempat kembali yang ia nantikan. Allah menafikan keimanan orang yang berpaling dari ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya:“Dan mereka berkata:
“Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.” (Q.S. An-Nur: 47-48)

Firman Allah yang lain (yang artinya):
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Q.S. An-Nur: 51-52)

Dari Shofiyah binti Syaibah berkata: “Ketika kami bersama Aisyah radhiyallahu anha, beliau berkata: “Saya teringat akan wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka.” Aisyah berkata: “Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan, dan demi Allah, saya tidak melihat wanita yang lebih percaya kepada kitab Allah dan lebih meyakini ayat-ayat-Nya melebihi wanita-wanita Anshor. Ketika turun kepada mereka ayat: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (Q.S. An-Nur: 31))

Maka para suami segera mendatangi istri-istri mereka dan membacakan apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Mereka membacakan ayat itu kepada istri, anak wanita, saudara wanita dan kaum kerabatnya. Dan tidak seorangpun di antara wanita itu kecuali segera berdiri mengambil kain gorden (tirai) dan menutupi kepala dan wajahnya, karena percaya dan iman kepada apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya. Sehingga mereka (berjalan) di belakang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan kain penutup seakan-akan di atas kepalanya terdapat burung gagak.”

Dikutip dari Kitab “Al Hijab” Departemen Agama Arab Saudi, Penebit: Darul Qosim P.O. Box 6373 Riyadh 11442

Dikutip dari darussalaf.or.id

Komisi Bagi Pegawai, Halalkah?

Komisi Bagi Pegawai, Halalkah? - Tanya: Bismillah. Assalamu’alaykum ana mau bertanya, sekiranya para ustadz mau menjawabnya, atau mungkin ada ikhwah yang mau menjawabnya. Ini tentang teman ana yang berkerja di suatu instansi pemerintah, dia di posisi sebagai bendahara gaji instansi tersebut. Yang ana dengar (belum tahu kebenarannya) bahwa setiap dia melakukan transaksi penggajian pegawai, dia mendapatkan komisi atau apalah namanya dari bank tempat untuk melakukan transfer ke rekening pegawai, misal bank mandiri.

Misal gini setiap bulan dia melakukan pembagian gaji ke pegawai di instansi tersebut, misal total yang ditransfer adalah 100 jt/bulan, maka bank memberi komisi pada bendahara ini sebesar 1 % per transaksi jadi 1 jt. Yang ingin ana tanyakan, apakah uang ini halal, yang mana yang memberikan adalah bank bukan instansi, sebagaimana yang antum tahu bahwa bank tidaklah terlepas dari riba. Mohon penjelasannya. Jazakumullohu khoir. Abdul Aziz, abu_sufyan**@yahoo.com

Jawab:

Ada dua hal yang harus diperhatikan sehingga sang bendahara boleh mengambil pemberian tersebut, Pertama, Ada idzin dari pihak instansi untuk mengambilnya. Dua, tidak boleh ada tambahan biaya atau kerugian bagi semua pihak -instansi maupun pegawai- karena adanya pemberian tersebut. Bila dua hal ini terpenuhi, saya menganggap tidak mengapa untuk mengambil pemberian. Wallahu A’lam.

Oleh: Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi

Friday 20 September 2013

KISAH ANTENNA TV YANG BERKARAT


Malam itu, acara menonton televisi dirumah kami agak terganggu. Ribuan semut memenuhi layar televisi kami. Belum lagi bunyi kresek-kresek tak jelas mengganggu telinga. Padahal dua hari yang lalu, setidaknya 80% dari gambarnya masih dapat kami nikmati. Program hiburan favorit yang telah ditunggu-tunggu menjadi sama sekali tidak menghibur. Malam yang seharusnya indahpun, perlahan tapi pasti jadi menjengkelkan.

Jelas bukan salah stasiun televisi. Mereka tentu tetap memancarkan sinyalnya sedemikian rupa. Apalagi tawa riuh tetangga memberitahu kami bahwa televisi mereka baik-baik saja. Kesalahan bukan terletak pada stasiun televisi, bukan juga pada pemancarnya, apalagi pada televisi diruang keluarga, kesalahan ada pada antena televisi kami.

Entah apa penyebabnya antena kami lebih cepat berkarat dari yang seharusnya. “Begini nih kalau beli antena China !”, timpal salah satu dari antara kami menyalahkan. Aku sendiripun tidak mengingat dengan pasti, apakah benar antena yang kami beli memang import dari China. Ucapan itu lebih dari sekedar mencari kambing hitam untuk menyalurkan kekesalan. Lagu lama manusia : mau benar atau salah, yang penting buang sampah !

Namun jika dipikir-pikir, betapa hidup kita seringkali sangat mirip dengan Si Antena Berkarat itu. Cukup banyak penderitaan, pergumulan dan masalah yang timbul hanya karena salah memutuskan. Kita mengira TUHAN diam jauh disana tak peduli, padahal diri-diri kitalah yang harusnya berbenah diri. Ribuan kali bertanya dan mengeluh lewat doa. Kita kira Ia, Sang Pemberi Petunjuk diam seribu bahasa, padahal telinga inilah yang tak mampu mendengar akan suara Surga.

Dunia membutakan mata hati kita, hingga tak mampu melihat kebaikan Nya. Lalu hidup terasa kian sulit. Kehidupan yang seharusnya indah, malah berbalik menghajar kita hingga lebih dari sekedar babak belur. Berputar-putar kelelahan. Compang-camping mengenaskan.

Jelas itu bukan takdir kita. Kita adalah kalifah, pemimpin. Rahmat bagi semesta alam. Bahkan lebih dari itu semua : biji mata TUHAN. Lalu mengapa ini semua terjadi ? Pasti ada sesuatu yang salah !!

Padahal, TUHAN yang Maha Kasih itu dapat dipastikan tetap setia. Tidak hanya menunggu, namun dengan segala inisiatif yang proaktif. Pasti tak terhitung jumlahnya, Ia sudah dan selalu berusaha mengarahkan kita menuju kehidupan yang ‘penuh’ dengan segala kebaikan dan rahmat.

Ternyata memang sesuatu harus dilakukan. Sesuatu yang memang merupakan porsi kita. Dan sesuatu itu adalah : membersihkan diri dari segala karat. Sehingga kita tidak salah pilih, tersesat kemudian menderita, bukan karena tidak dikasihi, bukan karena ditinggalkan, namun hanya karena berkarat.

Mungkin itu adalah satu-satunya cara untuk merasakan kehadiran-Nya. Secara penuh mengalami kebaikan hidup. Dan yang paling penting, membuat kasih TUHAN yang mesra, memeluk kita lalu mengalir bebas, menyelesaikan segala perkara. Sehingga kita dapat menikmati surga di bumi dan surga di surga nanti

PESAN DAN RENUNGAN DARI PAK TANI KEPADA KITA


Di belakang rumah saya, lima tahun yang lalu adalah sekedar tanah urugan yang dipastikan tidak subur, maklum diambil dari tanah padas berkapur ditambah bongkaran gedung.

Lalu mulai tumbuh pohon pisang, lalu di bawah pohon pisang mulai kulihat gembur oleh humus dan mikroorganisme yang berkembang biak…

Dan lewat satu tahun yang tadinya dari 2-3 pohon pisang, sekarang telah rindang oleh lebih dari 10 pohon pisang.
Pohon jeruk dari biji buangan anakku, lengkuas jahe yang bersemi ditanam istriku…
Lalu belakang rumahku sekarang menjadi rindang dan subur…

Demikian dalam kebun - ladang kehidupan kita, tidak perlu menyesali apabila mendapati gersang kerontangnya ladang kehidupan kita...

Mulailah menanam
Mulailah menyiram
Mulailah memupuk
Hingga suatu saat ladang kehidupan kita menghijau dan sejuk penuh buah dan bunga…

Apabila keluarga kita terasa gersang kerontang
Mulailah menanam cinta
Mulailan menyiram dengan kesabaran
Mulailah memupuk dengan syukur dan kasih sayang
Maka bunga-bunga kebahagiaan perlahan akan bersemi indah pada saatnya…

Apabila rejeki anda terasa seret
Mulailah menanam kasih sayang pada sesama
Mulailah menyirami dengan berbagi dan sodaqoh
Mulailah memupuk dengan kejujuran dan tawakal
Maka buah rejeki yang penuh keberkahan bersemi indah pada saatnya

… apa yang kita panen adalah tergantung apa yang kita tanam…
Demikian renungan dari Petani

PESAN DOROTHY LAW NOLTE : BAGAIMANA CARA MENDIDIK ANAK


Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran

KISAH TENTANG MENERIMA APA ADANYA


Seorang pelajar yang baru saja pulang dari medan perang menelepon orangtuanya di rumah. Orangtuanya begitu senang mendengar bahwa anaknya telah kembali. Mereka segera menyuruh pemuda itu untuk pulang ke rumah. Pemuda itupun sudah tidak sabar lagi rasanya untuk berkumpul kembali dengan keluarganya setelah berbulan bulan lamanya ia harus berada di negara lain untuk berperang.

Pemuda itu menanyakan pada orangtuanya apakah ia boleh membawa sahabatnya untuk tinggal bersama sama mereka. Orangtuanya setuju saja lagipula mereka masih punya satu kamar extra di rumah, satu orang tentunya tidak akan begitu merepotkan. ” tetapi sahabatku itu cacat Ia hanya memiliki satu lengan dan satu kaki saja “. Demikian si pemuda itu memberi penjelasan agar orangtuanya tidak terkejut nantinya.

Mendengar hal itu orangtuanya mengurungkan niatnya. Mereka mencoba memberi penjelasan pada putranya, “Tidakkah sebaiknya kita membawa temanmu itu ke panti perawatan korban perang? Kita akan kerepotan mengurus segala keperluannya nantinya. Sudahlah, sebaiknya kamu segera pulang saja. Kami sudah sangat merindukanmu. Besok pagi kami akan segera menjemputmu. Dimana kamu tinggal sekarang?”. Mendengar jawaban orangtuanya, pemuda itu memberikan hotelnya dan menutup telepon dengan kecewa.

Keesokan harinya orangtua pemuda itu menjemputnya di Hotel dan menemukan kabar bahwa pemuda itu telah bunuh diri dengan cara menjatuhkan dirinya lewat jendela. Setelah melihat mayat putranya,betapa hancur hati mereka mengetahui bahwa ternyata putranya itu hanya memiliki satu Lengan dan satu kaki.

RENUNGAN:
Seringkali kita lupa bahwa mengasihi adalah menerima diri orang lain SEUTUHNYA tanpa syarat.
Mengasihi suami bukanlah hanya pada saat dirinya begitu gagah dan mapan dengan pekerjaan yang menjanjikan.
Mengasihi isteri adalah menerima dirinya apa adanya dengan kondisi fisik seperti apapun.
Mengasihi anak adalah bisa memuji dan memberinya semangat sekalipun kemampuannya jauh di bawah rata rata anak seumurannya.
Mengasihi Orangtua adalah bangga memiliki mereka sekalipun mereka bukan orangtua yang sempurna.

MENGASIHI ADALAH MENERIMA ORANG LAIN APA ADANYA.

BELAJAR MEMBIASAKAN DIRI DENGAN BERBUAT NYATA



Suatu hari, seorang pemuka agama dimintai bantuan oleh seorang wanita malang yang tidak punya tempat berteduh.
Karena sangat sibuk, pemuka agama itu berjanji akan mendoakan wanita tersebut.

Beberapa saat kemudian wanita itu menulis puisi seperti ini :

Saya kelaparan ...
dan Anda membentuk kelompok diskusi untuk membicarakan kelaparan saya

Saya tergusur ...
dan Anda ke tempat ibadah untuk berdoa bagi kebebasan saya

Saya ingin bekerja ....
dan Anda sibuk mengharamkan pekerjaan yang Anda anggap tidak pantas, padahal halal dan saya membutuhkannya

Saya sakit ...
dan Anda berlutut bersyukur kepada Tuhan atas kesehatan Anda sendiri

Saya telanjang, tidak punya pakaian ...
dan Anda mempertanyakan dalam hati kesopanan penampilan saya,
bahkan Anda menasehati saya tentang aurat.

Saya kesepian ...
dan Anda meninggalkan saya sendirian untuk berdoa

Anda kelihatan begitu suci, begitu dekat kepada Tuhan
tetapi saya tetap amat lapar, kesepian, dan kedinginan ...

Setelah membaca puisi itu ...
Pemuka agama tadi terharu dan berkata : "kasihan wanita itu" ... lalu sibuk berdoa kembali, dan wanita itu tetap tidak memperoleh tempat berteduh.

RENUNGAN: 

Dear all, dalam memberi bantuan, kita sering lebih banyak menyampaikan teori, nasihat, atau perkataan-perkataan manis. Namun, sedikit sekali tindakan nyata yang kita lakukan. Berusahalah untuk membantu orang, mengasihi orang, bukan hanya dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan nyata.

Tuesday 17 September 2013

Perbedaan Hadats Besar dan Hadats Kecil

Perbedaan Hadats Besar dan Hadats Kecil - Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan hadats besar (akbar) dan juga hadats kecil (asghor)?

Asy-Syaikh Sholih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

Hadats besar (akbar) adalah yang menyebabkan wajibnya mandi, seperti: haidh, junub, nifas. Ini adalah hadats besar (akbar).

Adapun hadats kecil (asghor) adalah yang menyebabkan wajibnya wudhu’, seperti: kencing, kotoran (tinja), dan semua pembatal wudhu’.

Maka semua perkara yang hanya menyebabkan wajibnya wudhu’ adalah hadats kecil, sedangkan yang menyebabkan wajibnya mandi adalah hadats besar. Antara keduanya ada perbedaan dari sisi lainnya yang berpengaruh kepada hukum atas keduanya, penjabarannya ada di kitab-kitab fiqih. wallahu a’lam.

[Diterjemahkan sebisanya dari Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan, jilid 3 hal.48, fatwa no.6]

Monday 16 September 2013

Pandangan Ibnu Katsir terhadap Kitab Ihya ulumudin

Pandangan Ibnu Katsir terhadap Kitab Ihya ulumudin - Beliau berkata dalam kitab Al Bidayah wan Nihayah jilid 12 hal. 174 tentang Al Ghazali:

Dalam masa tersebut ia menulis kitab yang berjudul Ihna Ulumuddin yang merupakan kitab yang mengherankan dan mencakup banyak ilmu dari ilmu-ilmu syari'at. Kitab ini telah tercampur dengan sesuatu yang halus yang berasal dari (ajaran) tasawuf dan amalan-amalan hati. Akan tetapi di dalamnya terdapat hadits-hadits yang aneh, mungkar dan maudlu'(palsu), sebagaimana terdapat di dalam kitab-kitab cabang yang dapat diambil darinya hukum halal dan haram.

Akan tetapi kitab Ihya ini berguna untuk melunakkan hati, memberi kabar gembira dan mengancam (akan azab). Abul Faraj Ibnul Jauzi begitu juga dengan Ibnu Ash Shalah telah berulangkali mencela Al Ghazali, bahkan Al Maazari ingin membakar kitab Ihya Ulumuddin tersebut.

Begitu juga dengan yang lainnya yang tinggal di belahan bumi bagian barat.
Mereka berkata, "(Kitab Ihya) ini adalah kitabpenghidup ilmu-ilmu agamanya (Al Ghazali). Sedangkan kami, menghidupkan ilmu-ilmu agama kami dengan kitabullah (Al Quran) dan Sunnah Rasul-Nya." Sebagaimana yang telah saya tulis pada biografinya dalam kitab At Thabaqat.16

Sungguh Ibnu Syakr telah meneliti di beberapa tempat dalam Ihya Ulumuddin sekaligus menjelaskan penyimpangannya dalam sebuah kitab yang bermanfaat. Al Ghazali sendiri pernah berkata, "Perbendaharaanku dalam ilmu hadits sangat sedikit."

Footnote:16 Darinya sebuah manuskrip yang ditulis semasa hidupnya di katalog Syisterbiti no.3390

Sunday 15 September 2013

Apa Hukum Imunisasi

Apa Hukum Imunisasi - Oleh: Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi, Pertanyaan: Bagaimana hukum vaksinasi atau imunisasi untuk anak-anak, hukumnya boleh ataukah haram? Kami bingung. (08521414***)

Jawaban:

Untuk pertanyaan di atas, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan:
Pertama, pengobatan untuk mencegah terjadinya penyakit adalah hal yang diperbolehkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Barangsiapa yang makan pagi dengan tujuh butir kurma ‘ajwah, dia tidak akan dibahayakan oleh racun dan sihir pada hari itu.” (Hadits Sa’d bin Abi Waqqash riwayat Al-Bukhary dan Muslim)

Dari hadits di atas, telah jelas bahwa pencegahan terhadap bahaya racun dan sihir adalah dengan memakan kurma ‘Ajwah.

Kedua, penggunaan vaksinasi dan imunisasi, berupa zat yang bermanfaat dan halal, adalah hal yang diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil umum tentang pembolehan untuk berobat.

Ketiga, sebagian efek sementara yang timbul akibat vaksinasi dan imunisasi, berupa panas dan semisalnya adalah hal yang tidak dipermasalahkan selama ada manfaat besar yang terkandung pada vaksinasi dan imunisasi itu. Hal ini sebagaimana khitan pada seseorang yang membahayakan lantaran rasa sakit dalam proses khitan itu, tetapi tidak dipermasalahkan karena manfaat khitan yang sangat besar.

Keempat, kalau terbukti berdasarkan ilmu kedokteran, bahwa suatu vaksinasi atau imunisasi memberi bahaya yang lebih besar terhadap anak, seseorang tidak diperbolehkan untuk melakukannya karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)

Juga karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tidak (diperbolehkan) ada bahaya dan pembahayaan.” (Diriwayatkan oleh sejumlah shahabat. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwa’ Al-Ghalil no. 896)

Wallahu a’lam.

Sumber: Jurnal Asy-Syifa edisi 02/1432/2011, hal. 55-57.

Apa Hukum Duduk Sambil Memeluk Lutut Saat Khutbah

Apa Hukum Duduk Sambil Memeluk Lutut Saat Khutbah - Pertanyaan: Bismillah.. Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh. Ustadz, ana ingin tanya. Apakah ada larangan tentang duduk sambil memeluk lutut ketika mendengarkan khutbah jum’at dan ketika mendengarkan muhadoroh? Barokallahu fiikum..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Memang ada larangan tentang hal tersebut, tapi semuanya dalam hadits yang lemah. Terkhusus hari jum’at ada dua hadits menjelaskan larangannya, tapi keduanya juga lemah. Satu dari jalan Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, dan terdapat an’anah baqiyyah bin Waliq. Kedua dari Hadits Mu’adz bin Anas dan terdapat Ibnu Lahi’ah (lemah) dan Zabban bin Qo`id (Mungkarul Hadits).

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan memeluk lutut ketika khutbah, bagi kebanyakan ulama memandang hal tersebut tidak mengapa. Tapi kelihatannya meninggalkannya lebih afdhol, karena adanya larangan banyak bergerak ketika khutbah. Wallahu A’lam.

Sumber:fadhlihsan.wordpress.com

Hukum Bekerja di Pabrik Minuman Keras

Hukum Bekerja di Pabrik Minuman Keras - oleh: Asy Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rohimahullaah

Pertanyaan: Bagaimanakah hukum seorang muslim yang menjual khomr (minuman keras) atau obat-obatan terlarang, apakah kita tetap bisa menyebutnya muslim atau tidak? Dan bagaimanakah hukum seorang muslim yang bekerja di tempat pembuatan khomr, apakah wajib atasnya untuk meninggalkan pekerjaannya itu walaupun ia belum mendapatkan pekerjaan yang lain?

Jawaban:

Menjual khomr dan barang-barang haram yang lain termasuk kemungkaran besar. Begitu pula halnya dengan bekerja di tempat pembuatan khomr, ia termasuk hal yang haram dan merupakan kemungkaran besar berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla:
“..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..” (QS. Al-Maidah: 2)

Tidak diragukan lagi bahwasanya menjual khomr dan obat-obatan terlarang serta rokok, termasuk sikap saling tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Begitu juga dengan bekerja di tempat pembuatan khomr, merupakan sikap tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Sedangkan Allah telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah: 90-91)

Dan telah shahih dari Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam bahwasanya beliau melaknat khomr, peminumnya, penuangnya, pemerasnya, yang minta diperaskan, pembawanya, yang minta dibawakan, penjualnya, pembelinya dan yang makan hasil penjualannya.

Dan telah shahih pula dari Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam bahwasanya beliau bersabda: Sesungguhnya ada sebuah perjanjian atas Allah untuk orang yang mati dalam keadaan meminum khomr, yaitu Ia akan memberinya minum berupa thiinatul khobaal. Lalu dikatakan: wahai Rasulullah, apakah thinatul khobaal itu? Beliau berkata: ia adalah perasan ahli neraka, atau beliau berkata: keringatnya ahli neraka.

Adapun hukum orang tersebut, maka ia adalah orang yang bermaksiat dan fasik dengan sebab perbuatannya itu, kurang imannya. Pada hari kiamat nanti ia diserahkan kepada kehendak Allah. Kalau Allah menghendaki, Ia akan mengampuni dan memaafkan orang tersebut. Dan apabila Ia menghendaki, Ia akan menghukumnya kalau orang tersebut mati sebelum bertaubat sebagaimana yang dipahami oleh Ahlussunnah berdasarkan firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisaa’: 48)

Hukum yang sedemikian itu apabila orang tadi tidak memandang halal khomr. Adapun kalau ia memandangnya sebagai sesuatu yang halal, maka ia dikafirkan dengan sebab penghalalannya itu. Dan jasadnya tidak dimandikan atau dishalatkan kalau sampai mati ia tetap berpandangan seperti itu, menurut semua ulama. Karena dengan begitu, berarti ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya shollallahu’alayhiwasallam.

Demikian pula hukum orang yang menghalalkan zina, liwath, riba dan hal-hal lain yang telah disepakati keharamannya seperti durhaka kepada orang tua, memutuskan silaturahmi dan membunuh secara batil.

Sedangkan orang yang mengerjakannya atau mengerjakan salah satu dari perbuatan tersebut, dan dia menyadari bahwa perbuatan tersebut adalah haram, dan bahwasanya dirinya telah bermaksiat kepada Allah dengan perbuatan tersebut, maka orang itu tidak menjadi kafir. Akan tetapi ia adalah orang yang fasiq yang diserahkan kepada kehendak Allah di akhirat nanti, kalau dia belum bertaubat sebelum matinya, seperti yang telah berlalu tentang hukum peminum khomr. Wallaahu waliyyut tawfiiq.

(Diterjemahkan oleh Abu Abdil Halim Zulkarnain dari: http://www.alifta.net)
Sumber: http://al-ilmu.biz/fatwa-bisnis-perdagangan/hukum-bekerja-di-pabrik-miras/

Hadits Dhaif tentang Keutamaan Sholat Dhuha

Hadits Dhaif tentang Keutamaan Sholat Dhuha - Pertanyaan: Assalamu’alaykum warahmatullohi wabarakatuh. Ustadz yang mudah-mudahan dirahmati oleh Allah Ta’ala, ana mau tanya kedudukan hadits di bawah ini:

“Di dalam surga terdapat pintu yang bernama bab ad-dhuha (pintu dhuha) dan pada hari kiamat nanti ada orang yang memanggil: Dimana orang yang senantiasa mengerjakan sholat dhuha? Ini pintu kamu, masuklah dengan kasih sayang Allah.” (HR. at-Tabrani) Jazakallohu khoir.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Hadits di atas dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Al-Kabir dan Al-Ausath dan Al-Khatib dalam Al-Muttafiq wa Al-Muftariq, demikian keterangan As-Suyuthi dalam Ad-Durr Al-Mantsur. Syaikh Al-Albany menambahkan bahwa hadits di atas dikeluarkan juga oleh Al-Hakim dalam Juz beliau tentang sholat Dhuha -beliau nukil dari Ibnul Qayyim dari Zadul Ma’ad-, Abu Hafsh Ash-Shoirafy, Ibnu Laal dan Nashr Al-Maqdasy. Berkata Imam Al-Haitsamy dalam Majma’ Az-Zawa’id, “…Dalam sanadnya ada Sulaiman bin Daud Al-Yamamy dan ia adalah matruk (ditinggalkan haditsnya).” Hadits di atas divonis dho’if jiddan (sangat lemah) oleh Syaikh Al-Albany sembari menambahkan illah (cacat) lain yaitu ada an’anah Yahya bin Abi Katsir, seorang mudallis yang tidak menjelaskan riwayatnya dengan lafazh mendengar. Baca Silsilah Dha’ifah no. 392 dan 5065. Wallahu A’lam.

Sumber : 'Ulama Salafiyun

Apakah "Direp-repi" Saat Tidur karena jin?

Apakah "Direp-repi" Saat Tidur karena jin? - Pertanyaan: Bismillah,
1. Apakah penyebab ketindihan[Direp-repi] saat tidur, ada yang bilang disebabkan oleh jin?
2. Adakah cara mengatasinya? Jazakumullahu khoiron. (Ibnu Kholid, xxxxx@yahoo.com)

Dijawab oleh: Ust. Dzulqarnain M. Sunusi

Ketindihan[Direp-repi] saat tidur disebabkan oleh banyak hal. Ada banyak hal yang berkaitan dengan kejiwaan dan kesehatan. Juga ada hal yang berkaitan dengan perbuatan Jin.

Cara terbaik untuk mengobati hal tersebut adalah melaksanakan etika-etika sebelum tidur yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, seperti berwudhu sebelum tidur dan membaca doa-doa tidur.

Doa-doa tidur yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam mempunyai makna dan manfaat yang sangat besar. Seharusnya setiap muslim dan muslimah mempelajari kandungan maknanya agar bacaan doa tersebut lebih dahsyat pengaruhnya untuk diri.

Obat yang paling bermanfaat untuk seluruh penyakit yang berkaitan dengan gangguan dan was-was adalah dengan tidak mempedulikannya, seakan-akan seorang tidak pernah punya masalah dengan hal tersebut. Wallahu A’lam.

Sumber: Milis An-Nashihah

Apakah Bid’ah Bersedekap Setelah Ruku’?

Apakah Bid’ah Bersedekap Setelah Ruku’? - Berikut adalah bantahan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah terhadap pendapat yang menyatakan bahwa bersedekap setelah ruku’ adalah perbuatan bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh kalangan salaf terdahulu. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah mengatakan:

Apabila ada yang mengatakan: “Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani telah menyebutkan dalam hasyiah (catatan tepi atau footnote) Kitab beliau “Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam” halaman 145 cet. Keenam yang bunyinya sebagai berikut:

“Dan aku tidak ragu lagi, bahwa meletakkan kedua tangan di atas dada dalam posisi berdiri tersebut (yakni berdiri setelah bangkit dari kuku’) merupakan bid’ah yang sesat. Sebab sama sekali tidak terdapat dalam satu hadits pun dari hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat, dan betapa banyak hadits-hadits dalam permasalahan shalat. Kalau seandainya hal tersebut memiliki asal (dalil) niscaya akan dinukilkan kepada kita, meskipun hanya melalui satu jalan. Dikuatkan lagi bahwa tidak ada salah seorang dari ulama salaf yang melakukannya dan tidak pula disebutkan oleh salah seorang imam ahlul hadits sepanjang pengetahuanku.”

Jawaban dari hal tersebut dengan mengatakan: “Ya, memang benar saudara kami Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin telah menyebutkan dalam hasyiah kitabnya tersebut, pernyataan sebagaimana yang telah disebutkan tadi. Dan hal itu bisa dijawab dengan beberapa segi:

1. Pernyataan beliau yang memastikan bahwa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri setelah ruku’ adalah bid’ah yang sesat, merupakan kesalahan yang sangat jelas, tidak ada seorangpun dari kalangan ahlul ilmi yang mendahuluinya.
Demikian juga hal itu menyelisihi hadits-hadits shahih yang telah disebutkan di muka. Saya tidak meragukan keilmuan, keutamaan dan keluasan beliau dalam menelaah serta perhatian beliau terhadap As-Sunnah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah ilmu dan taufik kepada beliau. Akan tetapi beliau telah salah dalam permasalahan ini dengan kesalahan yang sangat jelas.

Setiap orang yang alim bisa dipegang dan ditinggalkan pendapatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik bin Anas radhiyallahu ‘anhu: “Tidaklah ada di antara kami, melainkan bisa diambil dan ditolak pendapatnya, kecuali penghuni kuburan ini.”

Yakni: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula yang dikatakan oleh ahlul ilmi sebelum dan sesudah beliau. Dan bukan hal itu berarti mengurangi penghormatan kepada mereka atau menjatuhkan kedudukan mereka, bahkan dalam hal tersebut mereka memperoleh antara satu dan dua pahala.
Sebagaimana hal ini shahih ditunjukkan oleh As-Sunnah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal hukum mujtahid (orang yang berijtihad):
“Apabila benar, dia mendapat dua pahala dan apabila salah, dia mendapat satu pahala.” [Al-Bukhari (6919), Muslim (1716), Abu Dawud (3574), Ibnu Majah (2314) dan Ahmad (4/204)]

2. Orang yang memperhatikan hadits-hadits yang telah berlalu (hadits Sahl, hadits Wail dan yang lainnya [1]), maka akan nampak jelas baginya bahwa hadits tersebut menunjukkan akan disyariatkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri dalam shalat sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Sebab tidak disebutkan perincian di dalamnya, dan memang pada asalnya tidak ada perincian tersebut.

Dikarenakan juga, di dalam hadits Sahl radhiyallahu ‘anhu terdapat perintah untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri ketika shalat dan tidak dijelaskan tempat (posisi)-nya dalam shalat. Apabila kita memperhatikan dengan seksama hadits-hadits dalam permasalahan ini, maka akan nampak jelas bagi kita bahwa yang sunnah dalam shalat adalah meletakkan kedua tangan pada kedua lutut ketika ruku’. Dalam keadaan sujud meletakkannya ke tanah dan ketika duduk meletakkan keduanya di atas kedua paha dan lutut. Sehingga tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Maka diketahuilah bahwa hal itulah yang dimaksud oleh hadits Sahl. Ini sangat jelas sekali.

Adapun hadits Wail, di dalamnya terdapat penegasasan dari Wail radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan ketika berdiri dalam shalat. Hadits ini dikeluarkan oleh An-Nasa’i (887) dengan sanad shahih. Lafadz yang berasal dari Wail radhiyallahu ‘anhu ini mencakup kedua posisi berdiri tersebut tanpa diragukan lagi. Barangsiapa yang membedakan antara keduanya maka hendaknya mendatangkan dalil. Hal ini telah diisyaratkan pada awal pembahasan.

3. Bahwa para ulama menyebutkan: Di antara hikmah dalam meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah hal tersebut lebih dekat dengan sifat khusyu’ dan tunduk serta jauh dari sikap main-main, sebagaimana yang telah berlalu dalam ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar. Sikap yang seperti itulah yang dituntut bagi setiap orang yang shalat sebelum ruku’ dan sesudahnya. Maka tidak boleh membedakan antara dua posisi tersebut kecuali dengan dalil yang tsabit (shahih) yang wajib untuk dipegangi.

Adapun ucapan saudara kita Al-’Allamah: “… Bahwa hal tersebut sama sekali tidak terdapat dalam satu hadits pun dari hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat, dan betapa banyak hadits-hadits dalam permasalahan shalat. Kalau seandainya hal tersebut memiliki asal (dalil) niscaya akan dinukilkan sampai kepada kita, meskipun hanya melalui satu jalan.”

Maka jawabnya: “Bukan seperti itu, bahkan sebaliknya, telah warid riwayat yang menunjukkan atas hal ini dari hadits Sahl, Wail dan yang lainnya, sebagaimana yang telag berlalu penjelasannya. Dan bagi orang yang mengecualikan posisi berdiri setelah rukuk dari makna yang ditunjukkan oleh hadits-hadits tersebut wajib untuk mendatangkan dalil yang shahih dan jelas menunjukkan hal itu.

Adapun ucapan beliau -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik kepadanya-: “Dikuatkan lagi bahwa tidak ada salah seorang dari ulama salaf yang melakukannya dan tidak pula disebutkan oleh salah seorang imam ahlul hadits sepanjang pengetahuanku.”

Maka jawabannya dengan mengatakan: Ini sangat aneh sekali. Apa yang menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang melakukannya? Bahkan yang benar: bahwasanya hal itu merupakan dalil yang menunjukkan bahwa dahulu mereka bersedekap ketika berdiri setelah ruku’. Kalau seandainya mereka melakukan hal yang berseberangan dengan hal ini niscaya akan dinukil. Sebab hadits-hadits yang telah lalu terdahulu menunjukkan disyariatkannya bersedekap ketika berdiri dalam shalat, baik sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Dan inilah makna yang ditunjukkan oleh judul yang dibuat oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah yang telah disebutkan dalam awal pembahasan masalah ini.

Sebagaimana juga hal itu, makna yang ditunjukkan oleh ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menjelaskan judul yang dibuat oleh Imam Al-Bukhari tersebut. Kalau seandainya ada salah seorang dari ulama salaf yang melakukan sebaliknya niscaya akan dinukilkan sampai kepada kita. Yang lebih jelas lagi, tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau menjulurkan kedua tangan ketika berdiri setelah ruku’. Kalau seandainya beliau melakukannya niscaya akan dinukil sampai kepada kita sebagaimana para shahabat menukil ucapan dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya. Dan telah berlalu dalam ucapan Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah bahwasanya tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selain bersedekap. Dan hal ini disetujui oleh Al-Hafidz dan kita tidak mengetahui pendapat yang berseberangan dari ulama yang lainnya.

Maka jelaslah dengan keterangan yang telah kami sebutkan bahwa apa yang dikatakan oleh saudara kita Fadhilatusy Syaikh Muhammad Nashiruddin dalam masalah ini merupakan hujjah yang membantahnya dan bukan hujjah baginya ketika kita benar-benar memperhatikan dengan seksama, sambil tetap menjaga kaedah-kaedah mutaba’ah yang dipegangi oleh ahlul ilmi. Semoga Allah mengampuni kita dan beliau serta memberikan ampunan dan maaf kepada kita semuanya. Semoga saja setelah menelaah apa yang kami sebutkan ini akan nampak jelas kebenaran bagi beliau, sehingga beliau pun kembali kepadanya. Sebab al-haq adalah bekal yang hilang dari seorang mukmin, kapan saja dia menjumpainya maka dia akan mengambilnya. Apalagi beliau -walhamdulillah- termasuk orang yang membela al-haq, berusaha meraihnya, dan mengorbankan kesungguhannya yang begitu banyak untuk menjelaskan serta menyeru manusia kepada al-haq.

PERINGATAN PENTING

Hendaknya diketahui bahwa pembahasan yang telah berlalu dalam permasalahan bersedekap dengan menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan serta meletakkannya di atas dada atau yang lainnya sebelum ruku’ maupun sesudahnya, semua itu adalah permasalahan sunnah, bukan dari permasalahan-permasalahan yang wajib menurut ahlul ilmi. Kalau seandainya ada seseorang yang shalat dengan menjulurkan tangannya dan tidak bersedekap, baik sebelum ruku’ maupun sesudahnya, maka shalatnya tetap sah.

Hanya saja dia telah meninggalkan sesuatu yang afdhal dalam shalat. Maka, tidak sepantasnya bagi seorang muslim menjadikan perbedaan pendapat dalam masalah ini dan yang semisalnya sebagai wasilah untuk berselisih, saling memboikot dan bercerai-berai. Sebab hal yang seperti itu tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin.

Sampai pun kalau seandainya ada yang mengatakan bahwa bersedekap itu wajib sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Imam Asy-Syaukani dalam “An-Nail” (maka tetap tidak boleh untuk menjadikannya sebagai wasilah untuk saling berselisih, saling memboikot, dan saling bercerai-berai). Bahkan yang wajib bagi kaum muslimin seluruhnya dengan kemampuan dan kesungguhan tersebut untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, menjelaskan al-haq dengan dalil-dalilnya, bersemangat keras untuk mensucikan hati dan menyelamatkannya dari perasaan iri dan dengki kepada sesama kaum muslimin yang lainnya.

Sebagaimana pula yang wajib bagi mereka untuk menjauhi sebab-sebab perpecahan dan saling memboikot. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan bagi kaum muslimin untuk berpegang dengan tali Allah Subhanahu wa Ta’ala seluruhnya dan melarang mereka jangan sampai terpecah-belah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, …” (Ali Imran: 103)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai bagi kalian tiga hal, yaitu: kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kalian berpegang teguh dengan tali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak bercerai berai, serta kalian menasehati orang yang dikuasakan oleh Allah untuk memimpin urusan kalian (yaitu pemerintah).” [HR. Muslim (1715), Ahmad (2/367), dan Malik (1863))

Telah sampai berita kepada saya dari mayoritas saudara kita kaum muslimin di Afrika dan negara lainnya bahwasanya telah terjdi di antara mereka kebencian, saling memboikot hanya disebabkan permasalahan bersedekap dan menjulurkan tangan.

Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini merupakan kemungkaran yang tidak boleh terjadi pada mereka. Bahkan yang wajib bagi kaum muslimin seluruhnya adalah hendaknya mereka saling nasehat-menasehati dan saling memahamkan dalam mengetahui al-haq disertai dengan dalil-dalilnya dengan tetap menjaga kecintaan, kejernihan hati, dan ukhuwah Islamiyah. Dahulu para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -semoga Allah meridhai mereka semua- dan ulama-ulama setelah mereka berselisih dalam masalah-masalah furu’, namun hal itu tidaklah menyebabkan mereka bercerai-berai dan saling memboikot satu sama lainnya. Sebab tujuan masing-masing adalah mengetahui al-haq dengan dalil-dalilnya. Kapan saja nampak kebenaran itu bagi mereka, mereka bersatu di atas kebenaran tersebut. Dan kapan saja tersembunyi bagi salah seorang di antara mereka, tidak menjadikannya menganggap sesat saudaranya dan tidak pula menyebabkan dia memboikot, memutus hubungan dengannya maupun tidak mau shalat di belakangnya.

Maka wajib bagi kita, seluruh kaum muslimin untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berjalan di atas jalan yang ditempuh oleh Salafush Shalih sebelum kita dalam berpegang dengan al-haq, mendakwahkannya, saling menasehati sesama kita dan bersemangat untuk mengetahui al-haq disertai dalil-dalilnya, dengan tetap menjaga kecintaan dan persaudaraan imaniyyah, tidak saling memutuskan hubungan dan saling memboikot hanya dikarenakan masalah furu’, dimana terkadang masih tersembunyi dalilnya bagi sebagian kita sehingga ijtihadnya membawa dia menyelisihi saudaranya dalam mengambil hukum.

Kita mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang husna (maha indah) dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi, semoga menambah hidayah dan taufik kepada kita dan kaum muslimin seluruhnya, dan semoga Allah memberikan kepada kita kefaqihan dalam memahami agama ini, kekokohan di atasnya, menolong dan mendakwahkannya, sesungguhnya Dia Maha Penolong dan Maha Kuasa atas hal itu. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita, Muhammad beserta keluarga, shahabat dan orang-orang yang mengambil petunjuknya serta mengagungkan sunnahnya hingga datangnya hari Pembalasan.

Catatan kaki:
[1] Hadits-hadits tersebut ialah:
Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam kitab “Shahih-nya” (Al-Adzan, 707): “Bab Meletakkan Tangan Kanan di Atas Tangan Kiri”: ‘Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami, dari Malik, dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Dahulu kaum muslimin diperintahkan agar meletakkan tangan kanannya di atas lengan kirinya ketika shalat.” Berkata Abu Hazim: “Aku tidak mengetahuinya melainkan dia menyandarkan perintah itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” {demikian yang dimaksud}

Dan telah tsabit dari hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat An-Nasa’i dengan isnad yang shahih: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila beliau berdiri dalam shalat, beliau menggenggam tangan kiri dengan tangan kanannya.” [Muslim (401), An-Nasa'i (887) dan Abu Dawud (726)]

Silakan lihat penjelasan kedua hadits di atas pada sumber tulisan.

Sumber: Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam & Fatwa-fatwa Penting Tentangnya oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz (penerjemah: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, Abu Hudzaifah, Khoirur-Rijal, dan Alimuddin), penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, Sukoharjo. Hal. 340-347.

Bolehkah Menjadi Aktivis Organisasi?

Bolehkah Menjadi Aktivis Organisasi? - Ada penanya kepada Ust. Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al-Maidani: Assalaamu’alaykum. Bolehkah berorganisasi seperti di kampus-kampus? Bagaimana kalau kampus mewajibkan untuk mahasiswanya agar aktif dalam organisasi, apakah ahsan memasuki organisasi yang bergerak dalam Islam dan mengikuti kepengurusannya agar bisa memperbaiki dari dalam? Harap nasihatnya. Jazaakumullohu khoyron wa baarokallohu fiikum.

Jawab:

Wa’alaikumussalaam warahmatullaah.
Pada asalnya, berorganisasi itu boleh selama tujuannya adalah sekedar untuk bersosialisasi dan mengatur pekerjaan dengan baik. Tetapi kenyataannya bahwa kebanyakan -jika tidak seluruhnya- dari organisasi-organisasi itu mengandung berbagai praktek yang melanggar agama Allah.

Termasuk yang paling parahnya yaitu hizbiyyah (kefanatikan kepada golongan). Praktek yang menyimpang ini bisa dikatakan sangat identik dengan berbagai organisasi bahkan yang mengatasnamakan Islam sekalipun.

Fenomena ini yang membuat sedih hati setiap orang yang mengenal sunnah Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan baik. Umat islam telah terpecah-belah akibat penyakit hizbiyyah ini.

Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semuanya. Baarakallaahu fiikum.

Sumber: http://alhujjah.wordpress.com/buku-tamu/

Benarkah Padang Mahsyar di Daerah Syam?

Benarkah Padang Mahsyar di Daerah Syam? - Tanya: Apakah ada keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa padang mahsyar berada di bumi Syam?

Asy-Syaikh Abdul Muhsin menjawab:

Ketika di dunia, manusia akan digiring ke Syam (Syiria) dan mereka akan berpindah ke Syam. Tetapi setelah kematian sebagaimana yang telah maklum (diketahui) bahwa mereka akan berada dibumi lain. Namun mereka pada saat terakhir (akhir jaman, pent) menuju ke Syam dan berkumpul di Syam. Oleh karena itu dijelaskan dalam sebuah hadits:

‏ ” ﺇﻥ ﻧﺎﺭ ﺗﺨﺮﺝ ﻣﻦ ﻋﺪﻥ ﻭﺗﺴﻮﻕ ﺍﻟﻨﺎﺱ “‏

“Sesungguhnya (ketika telah dekat kiamat) akan keluar api dari daerah ‘Aden yang menggiring manusia,” maksudnya semuanya pergi ke Syam. Manusia akan berkumpul di sana pada akhir jaman.

Adapun mahsyar pada hari kiamat berada di bumi yang Allah kehendaki, yaitu bumi yang datar, tidak ada ketinggian atau kerendahan. Na’am.

Oleh: Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad hafizhahullah