Wednesday 30 October 2013

Larangan Shalat dengan Rambut Terikat

Larangan Shalat dengan Rambut Terikat - Beberapa lelaki yang mempunyai rambut panjang terkadang mengikat rambutnya agar rapi dan tidak mengganggunya ketika shalat. Mereka tidak mengetahui bahwa hal itu justru dilarang di dalam syariat. Berikut penjelasannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang orang yang sujud mengikat rambutnya ke belakang.

“Permisalan orang yang demikian hanyalah seperti orang yang shalat dalam keadaan terikat kedua tangannya.”

Demikian yang ditunjukkan oleh hadits Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Suatu ketika ia melihat Abdullah ibnul Harits shalat dalam keadaan rambut kepalanya terikat ke belakang. Ibnu Abbas bangkit melepaskan ikatan tersebut. Ketika Abdullah ibnul Harits selesai shalat ia menghadap Ibnu Abbas seraya bertanya, “Ada apa anda dengan rambutku?” Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma pun menyampaikan hadits di atas yang pernah didengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. (HR. Muslim no. 1101)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam juga menyatakan,
“Ikatan rambut seperti itu (di saat shalat) adalah tempat duduk setan.” (HR. Abu Dawud no. 464 dan at-Tirmidzi no. 384, dinyatakan shahih dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)

At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Yang diamalkan oleh ahlul ilmi adalah mereka membenci seseorang shalat dalam keadaan rambutnya terikat.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/238)

Ibnul Atsir rahimahullahu berkata, “Makna hadits ini adalah apabila orang yang shalat rambutnya digerai (tidak diikat) maka rambut tersebut akan jatuh ke tanah di saat sujud sehingga pemiliknya akan diberikan pahala sujud dengan rambutnya. Namun, apabila rambutnya terikat, jadilah ia termasuk dalam makna orang yang tidak sujud. Ia diserupakan dengan orang yang terikat kedua tangannya, karena kedua tangan tersebut tidak bisa menyentuh tanah di saat sujud (sebagaimana rambut yang diikat ke belakang tidak dapat menyentuh tanah saat sujud, -pent.).” (an-Nihayah fi Gharibil Hadits)

Mengikat Rambut Bagi Wanita dalam Shalat

Diperkenankan dan diizinkan bagi wanita untuk mengikat rambutnya dalam shalat. Al-Imam al-’Iraqi asy-Syafi’i rahimahullahu mengatakan, “Larangan mengikat rambut itu khusus bagi lelaki dan tidak berlaku bagi wanita karena rambut wanita adalah aurat yang wajib ditutup saat shalat. Apabila dilepas ikatan rambutnya, bisa jadi tergerai (sampai keluar dari kerudung shalatnya karena panjangnya rambut atau karena rambutnya terhambur sehingga ada yang keluar di sela-sela kerudung/mukenanya -pent.) dan tidak bisa ditutup sehingga bisa membatalkan shalatnya. Selain itu, melepaskan ikatan rambut untuk mengerjakan shalat akan menyulitkan mereka. Di saat mandi saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memberikan keringanan bagi mereka untuk tidak melepas ikatan rambut, padahal ketika itu ada kebutuhan untuk membasahi seluruh rambut. (Nailul Authar, 2/228)

Selain larangan mengikat/mengumpulkan rambut, dilarang pula mengikat pakaian yang dikenakan sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dilarang menahan rambut atau pakaiannya (di saat sujud).” (HR. Muslim no. 1095)

Dengan demikian, saat sujud pakaian dibiarkam jatuh/mengenai tempat sujud, tidak boleh ditahan dengan tangan atau diikat atau dikumpulkan. Termasuk pakaian di sini adalah lengan baju, tidak boleh digulung. Larangan ini hanya saat sedang shalat. Apabila seseorang mengikat rambutnya dan menggulung pakaiannya sebelum shalat lalu ia mengerjakan shalat dalam keadaan demikian, ia termasuk dalam larangan menurut jumhur ulama. Ini yang rajih (kuat). Yang memperkuat hal ini adalah tindakan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam melarang seseorang yang hendak melakukan shalat dalam keadaan rambutnya terikat. Hal ini menyelisihi pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan tersebut hanya khusus saat shalat sebagaimana dinukil dari al-Imam Malik rahimahullahu. (al-Mudawwanah 1/186, al-Majmu’ 4/30)

Ulama berselisih pendapat tentang orang yang mengikat rambut atau menahan bajunya ketika shalat, apakah shalatnya sah (tidak batal) atau tidak.

Mayoritas mereka, di antaranya ‘Atha dan asy-Syafi’i mengatakan sah, dan ini adalah pendapat yang rajih (kuat), walaupun telah dinukilkan dari al-Imam Muhammad ibnu Ja’far ath-Thabari rahimahullahu adanya kesepakatan tentang sahnya shalat orang yang melakukan hal tersebut.

Pendapat yang mengatakan tidak sah dan shalatnya harus diulang. Hal ini dinukil dari al-Hasan al-Bashri rahimahullahu. (al-Isyraf ‘ala Madzahibil Ulama li Ibnil Mundzir 2/34, al-Majmu’ 4/30)

Dikatakan bahwa di antara hikmah pelarangan tersebut adalah ketika seseorang menahan baju dan rambutnya agar tidak menyentuh tanah berarti ia serupa dengan orang yang sombong.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Rujukan: Majalah Asy Syariah no. 79/VII/1433 h/2012, dalam artikel: Tata Cara Sujud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, hal. 76-77.

Apakah Sakitnya Orang Kafir Menggugurkan Dosa?

Apakah Sakitnya Orang Kafir Menggugurkan Dosa? - Soal: Apakah benar sakit yang menimpa orang tuaku adalah bukti kecintaan Allah kepadanya, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang artinya, “Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba Ia Subhanahu wa Ta’ala akan mengujinya.”, walaupun orangtuaku tidak shalat sebelumnya, dan apakah sakit tersebut meringankan dosa baginya?

Jawab:

Seorang mukmin yang tertimpa musibah sakit atau selainnya, akan digugurkan dosa-dosanya karenanya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Tidaklah suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim kecuali Allah akan menghapus dosanya, sampai pun duri yang mengenainya.” (HR. Ahmad, Al Bukhari, dan Muslim)

Diriwayatkan pula bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya musibah. Dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Ia akan mengujinya. Maka barangsiapa yang ridha, maka Allah pun ridha kepadanya, dan barangsiapa yang marah, maka baginyalah kemurkaan Allah.” (HR. At Tirmidzi)

Ini bagi seorang mukmin. Adapun orang yang kafir, maka musibah tersebut adalah hukuman yang disegerakan baginya. Dan orang yang meninggalkan shalat terhitung sebagai orang yang kafir sesuai pendapat terkuat dari dua pendapat ulama.

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

(Al Lajnah Ad Daimah Lilbuhutsi Al ‘Ilmiyati wal Ifta’)

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 14 vol. 02 1433 H – 2012 M, hal. 47-48.

Dimana Letak Surga dan Neraka

Dimana Letak Surga dan Neraka - Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu ditanya dengan konteks pertanyaan sebagai berikut: Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Surga yang luasnya seluas langit-langit dan bumi dipersiapkan bagi orang-orang yang bertakwa.” Apakah surga itu berada di langit ataukah berada di bumi?

Maka Syaikh rahimahullahu menjawab:

Surga itu berada di atas langit sebagaimana yang shahih dalam hadits. Dalam sebuah hadits, yaitu hadits yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari tentang kisah ibu dari Haritsah, dimana Haritsah waktu itu meninggal dalam perang, mati syahid. Dia bertanya: “Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang anakku, Haritsah. Kalau dia berada di dalam surga, maka saya hanya mengharapkan pahala dari kematiannya. Tapi jika tidak, maka saya akan menangis.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Yang artinya: “Sesungguhnya anakmu telah mendapatkan surga Firdaus. Sementara surga al-Firdaus itu berada di surga yang paling tinggi.”

Jadi surga tempatnya di atas langit, sebagaimana jahannam tempatnya di tingkatan yang paling rendah, berada pada sijjin.

Demikian jawaban asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu ta’ala dalam Ijabatus Sail, soal no. 337.

Apakah Sakitnya Orang Kafir Menggugurkan Dosa?

Apakah Sakitnya Orang Kafir Menggugurkan Dosa? - Soal: Apakah benar sakit yang menimpa orang tuaku adalah bukti kecintaan Allah kepadanya, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang artinya, “Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba Ia Subhanahu wa Ta’ala akan mengujinya.”, walaupun orangtuaku tidak shalat sebelumnya, dan apakah sakit tersebut meringankan dosa baginya?

Jawab:

Seorang mukmin yang tertimpa musibah sakit atau selainnya, akan digugurkan dosa-dosanya karenanya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Tidaklah suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim kecuali Allah akan menghapus dosanya, sampai pun duri yang mengenainya.” (HR. Ahmad, Al Bukhari, dan Muslim)

Diriwayatkan pula bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya musibah. Dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Ia akan mengujinya. Maka barangsiapa yang ridha, maka Allah pun ridha kepadanya, dan barangsiapa yang marah, maka baginyalah kemurkaan Allah.” (HR. At Tirmidzi)

Ini bagi seorang mukmin. Adapun orang yang kafir, maka musibah tersebut adalah hukuman yang disegerakan baginya. Dan orang yang meninggalkan shalat terhitung sebagai orang yang kafir sesuai pendapat terkuat dari dua pendapat ulama.

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

(Al Lajnah Ad Daimah Lilbuhutsi Al ‘Ilmiyati wal Ifta’)

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 14 vol. 02 1433 H – 2012 M, hal. 47-48.

Bolehkan Sholat Dhuha Berjamaah?

Bolehkan Sholat Dhuha Berjamaah? - Oleh Abu Yusuf Abdurrahman

Diperbolehkan bagi sekelompok orang untuk melakukan sholat nafilah (sunnah) secara berjama’ah. Al-Bukhari memberi sebuah judul bab di dalam kitab shahih beliau “Bab (Bolehnya) Sholat Nafilah Secara Berjama’ah”. Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari di bawah bab tersebut menukil pernyataan Imam Malik, “Tidak mengapa bagi seseorang untuk mengimami sekelompok orang di dalam sholat nafilah.”

Namun, ada catatan kecil mengenai hal ini. Ibnu Hajar melanjutkan penukilannya dari Imam Malik, “Adapun jika hal ini menjadi menyebar dan orang-orang (sengaja) berkumpul untuk melakukannya, maka tidak boleh.”

Dipahami dari sini bahwa jangan sampai hal ini dijadikan adat kebiasaan, sehingga malah menjadi perkara baru di dalam agama yang tidak diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allahu a’lam bish showab.

Sumber: http://tashfiyah.net/2010/11/bolehkah-sholat-dhuha-berjamaah/

Apakah Tawakal akan Menambah Rizki?

Apakah Tawakal akan Menambah Rizki? - Soal: Saya mengharapkan penjelasan yang gamblang agar saya dapat memahami dengan benar tentang hadits yang artinya, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka pasti Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana burung diberi rezeki yang pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.”

Jawab:

Hadits tersebut diriwayatkan dari shahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, beliau bersabda:
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka pasti Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada seekor burung, pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah)

Tawakal hakikatnya adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam mencari kemaslahatan dan menolak kemudharatan baik pada perkara dunia maupun akhirat. Adapun makna hadits tersebut adalah bahwa manusia seandainya merealisasikan tawakal dalam qalbunya dan bersandar sepenuhnya kepada Allah dalam mendapatkan kemanfaatan ataupun menolak kemudhratan, bersamaan dengan melakukan sebab-sebab yang efektif, maka Allah pasti memberikan rezeki kepada mereka walaupun hanya dengan melakukan sebab yang paling ringan. Sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung dengan sekedar berangkat berpagi hari dan kemudian kembali. Ini pun termasuk usaha walaupun ringan.

Dan merealisasikan tawakal bukan berarti meniadakan usaha yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah takdirkan kadarnya dan telah berlaku ketetapan Allah ini atas hamba-Nya. Allah telah memerintahkan untuk berusaha sekaligus bertawakal kepada-Nya. Jadi usaha yang dilakukan adalah bentuk ketaatan, dan tawakal dengan hati adalah bentuk keimanan kepada-Nya. Allah berfirman:
“Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu hendaknya bertawakal.” (QS. Al-Maidah: 11)

Allah Subhanahu wa Ta’ala gandengkan tawakal dengan takwa yang maknanya adalah melakukan usaha yang diperintahkan (diizinkan). Maka, tawakal tanpa disertai dengan usaha adalah kelemahan, walaupun ada sedikit tawakal. Tidak sepantasnya seorang hamba menjadikan tawakalnya sebagai sikap lemah dan menjadikan sikap lemahnya sebagai bentuk tawakal. Namun yang benar adalah menjadikan tawakalnya sebagai bagian dari usaha, yang tidak akan tercapai segala tujuan kecuali dengannya.

Wa billah taufiq, wa shalallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘aalihi wa sahbihi wa sallam.

[Al Lajnah Ad Daimah Lilbuhutsi Al Ilmiyati wal Ifta']

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 13 vol. 02 1433 H – 2012 M, hal. 52-53.

Ukuran & tinggi sutrah, apakah sajadah bisa sebagai sutrah

Ukuran & tinggi sutrah, apakah sajadah bisa sebagai sutrah - Telah diriwayatkan dari rasulullah shallallahu 'alaihi wa'ala alihi wasallam, dimana rasulullah 'alaihi shallatu wasallam menerangkan tentang kadar tinggi sutrah. Diantaranya disebutkan dalam riwayat Al Imam Muslim dari hadits Thalhah radhiyallahu ta'ala anhu. Beliau mengatakan:

Kami dahulu mengerjakan shalat dalam keadaan kendaraan lewat di hadapan kami, yakni hewan-hewan lewat di hadapan kami. Lalu kami menyampaikan hal ini kepada rasulullah shallallahu 'alahi wasallam. Maka rasulullah 'alaihi shallatu wasallam mengatakan:

إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ

“Apabila salah seorang dari kalian meletakkan semisal mu`khiratur rahl di hadapannya maka silakan ia shalat dan jangan memedulikan orang yang lewat di belakang sutrahnya tersebut.” (HR. Muslim no. 1111)

Maka dalam hadits nabi shallallahu 'alaihi wasallam ini menerangkan bahwa tinggi dari batas sutrah mu`khiratur rahl

(مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ). Dan para ulama tatkala mereka menyebutkan kadar mu`khiratur rahl

(مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ), ada yang mengatakan sepertiga dira, ada yang mengatakan satu dira (satu hasta). Ada yang menyebutkan sepertiga hasta (satu jengkal lebih sedikit), dan itu insya Allahu ta'ala mencukupi. Yang demikian mencukupi.

Adapun menjadikan sajadah sebagai sutrah, maka ini tidak cukup. Ada hadits yang diriwayatkan dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yang menerangkan tentang masalah menjadikan sebagai sutrah:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah meletakkan sesuatu di depannya, jika tidak mendapatkan sesuatu hendaklah menancapkan tongkat, dan jika tidak mendapatkan hendaklah membuat garis. Setelah itu tidak akan membahayakannya apa-apa yang melintas di depannya.” (HR. Ibnu Majah no. 943 dan Ahmad 2/249).

فَلْيَخُطَّ خَطًّا

hendaklah membuat garis

Dan hadits ini adalah hadits yang dha'if, bahkan sebagian para ulama mengatakan hadits ini hadits bathil. Wallahu ta'ala a'lamu bishawab.

Oleh: Ustadz Abu Karimah Al Askari hafidzahulloh

Bolehkah Wanita Memakai Celak saat Keluar Rumah

Bolehkah Wanita Memakai Celak saat Keluar Rumah - Pertanyaan: Bolehkah seorang wanita ketika hendak keluar memakai kuhl (celak)? (08xxxxxxxxxx)

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Hukum memakai celak, seperti kata Ibnu Baz rahimahullahu dalam Majmu’ al-Fatawa (10/58), “Boleh bagi wanita memperindah matanya dengan celak di hadapan sesama wanita, di hadapan suami, dan di hadapan mahram. Adapun di hadapan ajnabi (lelaki selain mahram), tidak boleh baginya membuka wajahnya dan kedua matanya yang bercelak. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman,
“Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (al-Ahzab: 53)

Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy Syariah no. 79/VII/1433 H/2012, hal. 81.

Hati-hati dan Waspadai Kitab-kitab Ini !!

Hati-hati dan Waspadai Kitab-kitab Ini !! - Oleh: Ust. Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi, kami akan menyebutkan secara ringkas beberapa kitab bermasalah yang diingatkan oleh para ulama. Semoga nasehat mereka tersebut dapat menjadi perhatian bagi kita semua.

Sungguh benar apabila mereka diibaratkan dengan bintang di langit, sebab bintang memilki tiga faedah:

1. Penerang kegelapan,

2. Perhiasan langit dan

3. Lemparan bagi syetan yang mencuri kabar langit.

Demikian halnya para ulama, mereka memiliki tiga sifat tersebut;

1. Mereka penerang kegelepan dan kebodohan,

2. Perhiasan di muka bumi, dan

3. Lemparan bagi syetan yang mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan dan membuat perkara-perkara baru dalam agama dari para pengekor hawa nafsu.

(Risalah Warasatul Anbiya’ Ibnu Rajab al-Hanbali hal. 14-15)

Berikut beberapa kitab bermasalah yang diingatkan para ulama tersebut:

1. DURRATUN NASHIHIN

Penulis: Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubari

Komentar:Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Kitab ini tidak bisa dijadikan sandaran karena banyak memuat hadits-hadits palsu dan hal-hal yang tidak bisa dijadikan sandaran, termasuk di antaranya dua hadits yang ditanyakan oleh si penanya di atas, sebab kedua hadits tersebut tidak ada asalnya dan didustakan kepada Nabi. Maka kitab seperti ini dan juga kitab sepertinya yang memuat banyak hadits-hadits palsu jangan dijadikan sandaran…” (Fatawa Nur Ala Darb hal. 80)

2. FI ZHILAL QUR’AN

Penulis: Al-Ustadz Sayyid Quthub Komentar:Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata ketika ditanya tentangnya: “Telah banyak perbincangan tentang kitab tersebut beserta penulisnya, padahal dalam kitab-kitab tafsir lainnya terdapat kecukupan seribu kali lipat dari kitab ini seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Sa’di, Tafsir al-Qurthubi -sekalipun beliau memiliki kelemahan dalam hadits- dan tafsir Abu Bakar al-Jazairi.

Sebagian ahli ilmu seperti ad-Duwaisy [1] dan al-Albani telah memberikan beberapa catatan tentang kitab ini. Saya sendiri belum membacanya secara keseluruhan, tetapi saya membaca tafsirnya dalam surat Al-Ikhlas, saya dapati dia telah mengucapkan ucapan yang amat berbahaya dan menyelisihi keyakinan Ahli Sunnah wal Jama’ah, di mana penafsirannya menunjukkan bahwa dia mengatakan wahdatul wujud, demikian pula dia menafsirkan istiwa’ dengan kekuasaan

Perlu diketahui bahwa kitab ini bukanlah kitab tafsir sebagaimana disebutkan oleh penulisnya sendiri dengan “Zhilal Qur’an” (Naungan Al-Qur’an). Maka sewajibnya bagi para penuntut ilmu untuk tidak menjadikan penulis ini ataupun selainnya sebagai faktor perselisihan dan pertengakaran di antara mereka atau menjadikan wala dan bara’ di atas orang tersebut. (Majalah Dakwah, Edisi 1591/Muharram 1418 H) [2]

3. AL-KASYFU AN MUJAWAZAH HADZIHI UMMAH ALF (Umur Umat Manusia)

Penulis: Jalaluddin as-Suyuthi

Komentar: Syaikh al-Albani berkata: “Risalah as-Syutuhi “Al-Kasyfu An Mujawazah Hadzihi Ummah Alf”. Kenyataan telah membuktikan batilnya hadits-hadits yang berkaitan tentang penentuan umur umat yang dihitung dengan hitungan tahun [3]. Bagaimana mungkin bagi manusia untuk menentukan dengan waktu seperti ini yang berkonsekuansi penentuan waktu tibanya hari kiamat.” (Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah 8/107)

4. ALFU LAILATIN WA LAILAH (seribu cerita/dongeng Abu Nuwas dan Harun Rasyid)

Komentar: Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan ketika ditanya: “Disebutkan dalam sebagian buku sejarah, terutama buku Alfu Lailatin wa Lailah bahwa khalifah Harun Rasyid sangat suka nyanyian dan minum khamr, apakah ini benar? Beliau menjawab: Semua ini adalah kedustaan dan noda yang diselundupkan dalam sejarah Islam. Kitab Alfu Lailah wa Lailah kitab yang tidak dipercaya. Oleh karenanya tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyia-nyiakan waktu untuk membaca buku tersebut.

Harun Rasyid adalah seorang yang dikenal shalih, istiqamah, sungguh-sungguh dan pandai dalam mengatur rakyatnya, beliau berangkat haji setiap tahun dan perang setiap tahun. Tuduhan yang digoreskan dalam kitab ini tidak perlu diperhatikan. Dan tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk membaca kitab kecuali kitab yang memuat faedah seperti kitab-kitab sejarah terpercaya, kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih, aqidah yang membantu seorang untuk mengenal agamanya, adapun kitab-kitab rendahan, maka tak sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyia-nyiakan waktunya untuk membacanya.” (Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan 2/306)

5. SYAMSUL MA’ARIF (Cahaya Pengetahuan)

Penulis: Ahmad bin Ali al-Buni

Komentar: Syaikh Abdullah al-Jibrin berkata: “Kitab ini termasuk kitab khurafat, penulisnya telah memenuhinya dengan kedustaan, khurafat, kebatilan, aqidah rusak yang orang yang meyakininya maka dia kufur. Kitab ini juga penuh dengan ajaran sihir dan perdukunan, oleh karenanya kitab ini banyak digemari oleh para dukun. Kitab ini telah menimbulkan banyak kerusakan dan menjerumuskan banyak orang dalam jeratan kekufuran dan kesesatan. Maka kami menasehatkan kepada setiap muslim untuk menjauhinya, barangsiapa yang terlajur memilikinya maka hendaknya membakarnya. Sebagaimana kami menasehatkan kepada setiap muslim untuk banyak membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits seperti shahih Bukhari Muslim, sunan, kitab-kitab tauhid, sebab hal itu akan dapat menjaga agama seorang. Wallahu A’lam.” (Fatawa Islamiyah 3/365)

6. LIMADZA IKHTARTU SYI’AH (Mengapa Aku Memilih Syi’ah)

Penulis: Muhammad Mar’i al-Amin al-Anthaki

Komentar:Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata: “Pada tahun 1405 H, saya mendapatkan sebuah kitab berjudul “Limadza Ikhtartu Syi’ah” yang dinasabkan kepada Muhammad Mar’i al- Amin al-Anthaki, dimana dia mengaku dahulunya adalah penganut faham sunni dan bermadzhab Syafi’i kemudian pindah kepada faham Syi’ah. Kitab ini hanya diada-adakan saja dan dinisbatkan kepada penulis yang tak dikenal, bahkan kitab ini hanyalah kedustaan yang dibuat-buat oleh kelompok Rafidhah untuk melariskan madzhab Syiah.” (At-Tahawwul Madzhabi hal. 89 -An-Nadhair-)

7. LUBABUL MA’ANI (Manakib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani)

Penulis: Abu Shalih Mustamir al-Hajeni al-Juwani

Komentar: Drs. Imron AM berkata: “Kitab Manakib, merupakan kitab yang oleh sebagian masyarakat Islam di Indonesia dipercayai sebagai kitab yang memiliki nilai-nilai keberkatan, seperti dapat mendatangkan rezeki bagi pembacanya, dapat menyebabkan terkabulnya tujuan-tujuan dunia dan akherat, dapat dipergunakan untuk mengusir makhluk-makhluk halus untuk pelepasan nadzar (kaul/jawa) dan sebagainya. Maka diciptakanlah upacara-upacara pembacanya dengan aneka variasi yang menyerupai ibadah dan diakhiri dengan doa-doa istighatsah untuk mengundang roh yang dipandang suci untuk diminta bantuan menyampaikan doa-doa mereka kepada Tuhan.

Menurut penelitian penulis, Kitab Manakib tidak hanya merusak dan mengotori aqidah seorang muslim tetapi di samping itu juga secara tidak langsung merupakan penghinaan kepada Allah dan Malaikat-MalaikatNya. Dan penulis berteguhan hati bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sendiri bersih dari semua cerita-cerita Manakib itu, karena menurut keyakinan penulis bahwa cerita semacam itu adalah hasil karya tangan tangan kotor…” (Muqaddimah Kitab Manakib Syaikh Abdul Qadir Jaelani Merusak Aqidah)

Akhirnya, kami berdoa kepada Allah agar menambahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat.

CATATAN KAKI:
[1] Beliau menulis kitab berjudul Al-Maurid Az-Zulal fi Tanbih ala Akhta’ Zhilal (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).

[2] Kritikan juga ditegaskan oleh para ulama lainnya, diantaranya Syaikh Ibnu Baz, al-Albani, Shalih al-Fauzan, Shalih al-Luhaidan, Abdullah al-Ghadyan, Abdul Muhsin al-Abbad, Hammad al-Anshari, Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Muhammad bin Jamil Zainu dan lain sebagainya. (Lihat selengkapnya dalam buku Bara’ah Ulama Ummah Min Tazkiyah Ahli Bid’ah oleh Isham bin Abdillah as-Sinani)

[3] Mirip dengan masalah ini juga buku “Umur Umat Islam” oleh Amin Muhammad Jamaluddin. Syaikh Masyhur bin Hasan berkata: “Hendaknya para pembaca mewaspadai kitab ini, sebab penulisnya banyak menjadikan berita-berita israiliyyat sebagai sandaran yang dipercaya begitu saja dan menggambarkan keterkaitan antara beberapa kejadian yang terdapat dalam hadits dari pikirannya sendiri.” (Al-Iraq fi Ahadits wa Atsar 1/438)

Apakah Harta Korupsi Harus Dizakati?

Apakah Harta Korupsi Harus Dizakati? - Korupsi begitu merebak di indonesia, banyak para pejabat melakukan korupsi uang rakyat. Mereka kaya raya dari harta korupsi mereka,tapi Apakah Harta Korupsi Harus Dizakati?. Berikut uraiannya:

Pertanyaan: Bismillah. Ustadz, apakah harta hasil dari korupsi atau mencuri juga wajib dizakati bila telah mencapai nishab dan haulnya? Jazakallahu khairan. (08574046xxxx)

Dijawab Oleh Al Ustadz Qomar Za, Lc:

Tidak ada zakatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Allah tidak menerima sedekah dari harta hasil curian atau rampasan.” (Shahih, HR. Muslim)

Sedangkan zakat tergolong sedekah yang wajib. Maka zakat tidak akan diterima dari hasil yang haram dan ini merupakan kesepakatan para pengikut madzhab-madzhab, demikian disebutkan dalam buku “Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah”.

Yang wajib dilakukan adalah justru membersihkan diri dari harta yang haram itu secara total, dengan mengembalikannya kepada yang berhak.

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 14 vol. 02 1433 H – 2012 M, hal. 89.

Apakah Berdosa Bila Tidak Mengulang-ulang Hafalan Qur’an?

al qur'an
Apakah Berdosa Bila Tidak Mengulang-ulang Hafalan Qur’an? - Soal: Ada seseorang yang telah hafal 5 juz Al Qur’an. Kemudian karena banyaknya pekerjaan dan kesibukannya, ia tidak murajaah (mengulang hafalan tersebut) selama waktu yang lama. Sehingga ia lupa terhadap hafalannya. Bagaimanakah hukumnya, apakah ia berdosa karena hal itu? Apakah di sana ada hadits yang menakuti-nakuti serta mengancam orang semisalnya?

Jawab:

Sepantasnya orang tersebut dinasehati dan diberi semangat. Mudah-mudahan ia dapat kembali mempelajari Al Qur’an seluruhnya, membaca, mentadaburi, serta mengamalkannya. Dan juga diperingatkan dari akibat buruk kesibukannya dalam urusan dunia yang berdampak tertelantarkannya perkara agama. Adapun hadits yang mengancam orang yang menghafal Al Qur’an kemudian melalaikannya adalah hadits yang lemah.

Wa billahittaufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

[Al Lajnah Ad Daimah Lilbuhutsi Al 'Ilmiyati wal Ifta']

Berada Di Manakah Roh Para Nabi?

roh
Berada Di Manakah Roh Para Nabi? - Soal: Apakah roh dan jasad para nabi berada di atas langit ataukah hanya roh mereka saja yang di atas langit?

Jawab:

Roh-roh mereka berada di dalam surga. Roh para syuhada`, roh para nabi, dan roh kaum mukminin, seluruhnya di dalam surga. Kalau kaum mukminin saja roh mereka bepergian di dalam surga kemanapun mereka inginkan, maka bagaimana lagi dengan roh para nabi alaihimushshalatu wassalam?!

Maka roh-roh para nabi tidak terdapat di dalam kubur-kubur mereka sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang, akan tetapi roh-roh mereka terdapat di dalam surga. Dan jasad tidak akan bersatu dengan roh kecuali pada hari kiamat.

‏ ﻳَﻮْﻡَ ﻳُﻨﻔَﺦُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼُّﻮﺭِ ﻓَﺘَﺄْﺗُﻮﻥَ ﺃَﻓْﻮَﺍﺟﺎً‏ ‎

“Hari ditiupnya sangkakala lalu kalian datang dalam keadaan berbondong-bondong.” (QS. An-Naba`: 18)

Pada hari itulah Allah membangkitkan mereka. Manusia yang paling pertama kali terbuka kuburnya adalah Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan beliau alaihishshalatu wassalam adalah manusia yang paling pertama dibangkitkan.
Adapun hadits:

‏ ﺍَﻟْﺄَﻧْﺒِﻴﺎﺀُ ﺃَﺣْﻴﺎﺀٌ ﻓِﻲ ﻗُﺒُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﻳُﺼَﻠُّﻮْﻥَ‏ ‎

“Para nabi itu hidup di dalam kubur-kubur mereka, mereka mengerjakan shalat.”

Maka walaupun Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan shahihnya, akan tetapi yang benarnya haditsnya sangat lemah. Dan ini adalah hadits pertama yang saya kritisi kepada beliau rahimahullah.

[Diterjemahkan dari Fatawa fi Al-Aqidah wa Al-Manhaj (majelis pertama) soal no. 6 oleh Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi hafizhahullah]

Sumber: http://al-atsariyyah.com/dimanakah-roh-para-nabi.html

Apakah Dahi Menghitam Tanda Orang Shaleh?

jidat hitam
Apakah Dahi Menghitam Tanda Orang Shaleh? - Sering kita mengaitkan lahiriah seseorang dengan tingkat keshalihan. Semakin seorang berlaku alim maka kita menilainya sebagai ahli ibadah, orang yang taat dan jauh dari kemaksiatan. Di antara tanda yang tampak tersebut adalah bekas hitam di dahi karena sujud. Benarkah anggapan yang demikian?

Fadhilatusy Syaikh al-Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,

“Hal itu bukan tanda orang-orang shalih. Yang menjadi tanda justru cahaya yang tampak pada wajah (wajah yang tampak bercahaya/tidak suram dan menghitam), dada yang lapang, akhlak yang baik, dan yang semisalnya.

Adapun bekas sujud yang tampak pada dahi, terkadang juga tampak pada wajah orang-orang yang hanya mengerjakan shalat fardhu karena kulitnya yang tipis, sementara itu pada wajah orang yang banyak mengerjakan shalat dan sujudnya lama terkadang tidak tampak.” (Majmu’ Fatawa, fatwa no. 523, 13/188)

[Faidah ini diambil dari majalah Asy Syariah no. 80/VII/1433 H/2012, hal. 74]

Bolehnya Berkhalwat ketika Darurat

muslimah
Bolehnya Berkhalwat ketika Darurat - Pertanyaan: Salah satu kasus yang mungkin saja terjadi, seorang wanita menyingkap wajahnya di hadapan pria bukan mahram dalam keadaan darurarat. Misalnya jika istri tetangga sakit, sementara suaminya sedang pergi dan tidak ada mahram yang menyertainya. Apakah yang harus dilakukan ketika itu?

Dijawab Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah:

Tidak diragukan lagi bahwa berbaur dengan orang yang bukan mahram itu tidak diperbolehkan. Dan khalwat lebih parah dan lebih besar dosanya. Namun dalam kondisi darurat, hukum sesuatu dapat berbeda, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (al-An’am: 119)

Maka apabila saya terpaksa mengajak bicara istri tetangga saya, lalu saya masuk menemuinya untuk membawanya ke dokter, atau kondisi yang serupa itu, hal demikian tidak apa-apa dengan tetap menghindari fitnah. Yaitu kalau laki-laki itu memiliki seorang istri, ia dapat meminta bantuan istrinya sehingga tidak terjadi khalwat.

(Majmu’ah As’ilah Tahummu al-Usrah al-Muslimah)

Sumber: Majalah Akhwat Shalihah vol. 16/1433 H/2012, hal. 88-89.

Apakah Boleh Menghukum Anak dengan Memukul Agar Jera?

Apakah Boleh Menghukum Anak dengan Memukul Agar Jera? - Banyak orang tua yang memukul anakanya dengan alasan agar anaknya jera, tidak melakukan sesuatu yang tidak baik. Tapi apakah ini disyariatkan oleh agama, untuk memukul anak agar jera. Berikut petikan yang diambil dari majalah Asysyariah tentang masalah ini.

Tanya: Bismillah. Bolehkah menghukum anak dengan memukuknya agar jera sehingga menjadi pelajaran baginya dan bagi teman-temanny? (08179xxxxxx)

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Afifuddin:

Pendidikan Islam dibangun di atas rahmah dan kelembutan, khususnya tarbiyah anak-anak. Kekerasan dan kekasaran dalam pendidikan tidak dibenarkan dalam syariat. Yang ada adalah ketegasan dan kedisiplinan dengan rambu-rambunya.

Apabila ada anak yang salah/melanggar, hukumannya disesuaikan dengan kadar dan jenis kesalahan, juga kondisi setiap anak. Bisa jadi diberi peringatan, hukuman ringan, sedang, atau mungkin berat. Asalkan tidak membahayakan.

Hukuman tidak dilihat dari usia, karena hadits tentang pembedaan umur tujuh dan sepuluh tahun hanya dalam urusan shalat dan tempat tidur. Apabila terpaksa menghukum dengan pukulan, tidak boleh memukul wajah atau bagian tubuh yang rawan dan tidak boleh melukai.
Wallahu muwaffiq.

Sumber: Majalah Asy Syariah no. 83/VII/1433 H/2012, hal. 42.

Diperbolehkan Tidur Telentang di Dalam Masjid

masjid
Diperbolehkan Tidur Telentang di Dalam Masjid - Kita sering menjumpai, kaum muslimin setelah mereka sholat dimesjid, setelah berdzikir kemudian mereka tidur di masjid dalam keadaan terlentang. Mungking Kita sangat sering menjumpai dan bahkan melakukannya. Tapi apakah Diperbolehkan Tidur Telentang di Dalam Masjid? Berikut saya Uraikan dari fatwa Syekh albani.

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah (menerangkan):

Boleh berbaring dengan posisi telentang di dalam masjid. Berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid Al-Mazini:

ﺃﻧﻪ ﺭَﺃَﻯ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﻣُﺴْﺘَﻠْﻘِﻴًﺎ ﻭَﺍﺿِﻌًﺎ ﺇِﺣْﺪَﻯ ﺭِﺟْﻠَﻴْﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄُﺧْﺮَﻯ ‎

“Bahwa dia pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidur terlentang di dalam masjid sambil meletakkan salah satu kaki beliau di atas kaki lainnya.”

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1/446) (10/328) (11/68) dan dalam Al-Adab Al-Mufrad (172), Muslim (6/154), Malik (1/186) serta Abu Daud (2/297) dan An-Nasai (1/118) dari jalannya, Muhammad dalam kitabnya Muwaththa` (398), At-Tirmizi (2/127 -cet. Bulaq), Ad-Darimi (2/282), Ath-Thayalisi (hal. 148 no. 1101), dan Ahmad (4/38, 39, 40) dari beberapa jalan dari Az-Zuhri dia berkata: Abbad bin Tamim mengabarkan kepadaku dari pamannya (Abdullah bin Zaid, pent.) dengan lafazh di atas. At-Tirmizi berkata, “Hadits hasan shahih.”

Hadits ini mempunyai pendukung dari hadits Abu Hurairah dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Fath (11/68). Hadits ini adalah dalil dari apa yang kami sebutkan berupa bolehnya tidur telentang di dalam masjid. Dan dengan inilah, Al-Bukhari dan An-Nasai memberikan judul bab terhadap hadits ini, dan ini pula yang dijelaskan oleh para ulama yang mensyarah Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, dan selain keduanya.

Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath, “Kelihatannya, perbuatan beliau shallallahu alaihi wasallam adalah untuk menunjukkan bolehnya hal tersebut. Dan hal itu beliau lakukan pada waktu beliau beristirahat sendirian, bukan di hadapan banyak orang, karena sudah menjadi kebiasaan yang diketahui dari beliau bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam selalu duduk-duduk bersama mereka dengan sikap rendah hati yang sempurna.”

Al-Khaththabi berkata, “Dalam hadits ini terdapat pembolehan bersandar, berbaring, dan posisi istirahat lainnya di dalam masjid.”

Ad-Daudi berkata, “Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa pahala yang disebutkan bahwa orang yang tinggal di dalam masjid itu tidak terkhusus bagi orang yang duduk saja, akan tetapi juga didapatkan oleh orang yang tidur terlentang.”

Ketahuilah bahwa telah shahih dalam Shahih Muslim dan selainnya dari hadits Jabir bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang seseorang mengangkat salah satu kakinya lalu meletakkannya di atas kaki lainnya, sementara dia berbaring di atas punggungnya. Suatu hal yang jelas kalau hadits Jabir ini tidak bertentangan dengan pembolehan tidur terlentang secara mutlak. Hanya saja lahiriah hadits ini bertentangan dengan tidur terlentang dengan cara yang tersebut dalam kedua hadits (yakni dengan salah satu kaki di atas, pent.).

Para ulama telah memadukan kedua hadits ini dengan cara mereka mengarahkan larangan dalam hadits Jabir ini jika dikhawatirkan hal itu akan membuat auratnya terlihat, dan hal itu dibolehkan jika itu tidak dikhawatirkan terjadi. Wallahu a’lam.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari hadits Qatadah bin An-Nu’man: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya ketika Allah telah selesai menciptakan makhluk-Nya, Dia berbaring telentang dengan meletakkan salah satu kaki-Nya di atas kaki lainnya seraya berfirman, “Tidak boleh ada seorang pun dari makhluk-Ku yang boleh melakukan seperti ini,” maka keabsahannya masih butuh ditinjau lebih jauh.

Al-Haitsami berkata dalam Al- Majma’ (8/100), “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari tiga orang gurunya: Ja’far bin Sulaiman An-Naufali, Ahmad bin Rusydin Al-Mishri, dan Ahmad bin Daud Al-Makki. Ahmad bin Rusydin adalah perawi yang dha’if, dan dua orang lainnya belum saya ketahui. Dan perawi lainnya adalah perawi Ash-Shahih.”

Saya pribadi menganggap sangat tidak mungkin hadits ini shahih, karena kandungannya mengesankan makna yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi yang dimurkai Allah. Dimana mereka mengatakan, “Allah menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari kemudian Dia beristirahat pada hari yang ketujuh,” yaitu hari sabtu. Mereka menamakan hari sabtu ini sebagai hari istirahat.

Dan sungguh Allah Ta’ala telah membantah mereka dalam banyak ayat, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan.” (QS. Qaf: 38)

Maka dugaan besar saya adalah asal hadits ini berasal dari kisah-kisah israiliyat yang kaum muslimin impor dari sebagian ahli kitab. Kemudian sebagian perawinya keliru sehingga dia menyandarkannya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, padahal beliau berlepas diri darinya. Dan kasus seperti ini mempunyai banyak contoh berupa riwayat-riwayat. Di antaranya adalah kisah Harut dan Marut, yang sebagian perawi menyandarkannya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana yang terdapat dalam Musnad Ahmad. Padahal penyandaran itu keliru, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya dan selainnya.

[Diterjemahkan dari kitab Ats-Tsamar Al-Mustathab jilid 2 pada point 16 dari amalan-amalan yang dibolehkan dalam masjid]
Sumber: http://al-atsariyyah.com/bolehnya-tidur-terlentang-di-dalam-masjid.html

Diperbolehkan Membaca Al-Qur`an dalam Keadaaan Berjalan dan Berbaring

alquran
Diperbolehkan Membaca Al-Qur`an dalam Keadaaan Berjalan dan Berbaring - Oleh: Ust. Abu Muawiyah Dalil akan hal itu adalah firman Allah Ta’ala:

‏ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺬْﻛُﺮُﻭﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻗِﻴَﺎﻣًﺎ ﻭَﻗُﻌُﻮﺩًﺍ ﻭَﻋَﻠَﻰٰ ﺟُﻨُﻮﺑِﻬِﻢْ‏ ‎

“Orang-orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring.“ (QS. Ali Imran: 191)

Dan firman Allah Ta’ala:

‏ ﻟِﺘَﺴْﺘَﻮُﻭﺍ ﻋَﻠَﻰٰ ﻇُﻬُﻮﺭِﻩِ ﺛُﻢَّ ﺗَﺬْﻛُﺮُﻭﺍ ﻧِﻌْﻤَﺔَ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﺍﺳْﺘَﻮَﻳْﺘُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺳَﺨَّﺮَ ﻟَﻨَﺎ ﻫَٰﺬَﺍ ﻭَﻣَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻟَﻪُ ﻣُﻘْﺮِﻧِﻴﻦَ . ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﺇِﻟَﻰٰ ﺭَﺑِّﻨَﺎ ﻟَﻤُﻨْﻘَﻠِﺒُﻮﻥَ.‏ ‎

“Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kalian mengingat nikmat Rabb kalian, apabila kalian telah duduk di atasnya. Dan suapaya kalian mengucapkan: Maha Suci Dia yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami hanya kembali kepada Rabb kami.“ (QS. Az-Zukhruf: 13–14)

Dan As-Sunnah juga telah menerangkan hal ini seluruhnya. Dari hadits Abdullah bin Mughaffal radhiallahu anhu dia berkata:

‏ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻮْﻡَ ﻓَﺘْﺢِ ﻣَﻜَّﺔَ ﻭَﻫُﻮَ ﻳَﻘْﺮَﺃُ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺍﺣِﻠَﺘِﻪِ ﺳُﻮﺭَﺓَ ﺍﻟْﻔَﺘْﺢِ‏ ‎

“Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari penaklukan Makkah, di mana beliau membaca surah Al-Fath di atas tunggangan beliau.“ (HR. Al-Bukhari no. 5034 dan Muslim no. 794)

Dan dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:

‏ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺘَّﻜِﺊُ ﻓِﻲ ﺣَﺠْﺮِﻱ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺣَﺎﺋِﺾٌ ﺛُﻢَّ ﻳَﻘْﺮَﺃُ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ‏ ‎

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersandar di pangkuanku sementara saya dalam keadaan haidh, lalu beliau membaca Al-Qur`an.“ (HR. Al-Bukhari no. 297 dan Muslim no. 301)

Adapun bagi seorang yang sedang berjalan, maka dapat dianalogikan kepada seseorang yang sedang berada di atas kendaraan, karena keduanya tidak ada perbedaan.

Faedah:

Pada hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur`an di pangkuan seorang wanita yang tengah haidh atau nifas. Dan yang dimaksud dengan bersandar di sini adalah meletakkan kepala di pangkuan. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur`an di dekat tempat yang najis, sebagaimana yang dikatakan oleh an-Nawawi.” (Fath Al-Baari: 1/479)

[Fiqh Al-Adab: Adab Terhadap Al-Qur`an, Point Ke-6, karya: Fuad bin Abdil Aziz Asy-Syalhub]

Sumber: http://al-atsariyyah.com/bolehnya-membaca-al-quran-dalam-keadaaan-berjalan-dan-berbaring.html

Bolehkah Shalat di Atas Tempat Tidur ?

Bolehkah Shalat di Atas Tempat Tidur ?
Bolehkah Shalat di Atas Tempat Tidur ? - Pertanyaan: Assalamualaikum. Bolehkah kita shalat di atas meja atau di tempat tidur karena khawatir lantai terkena najis?

Jawaban:

Bismillahirrahmanirrahim.Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Shalat di atas tempat tidur adalah perkara yang diperbolehkan. Berkaitan dengan bolehnya hal tersebut, Al Imam Al Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam Shahih beliau berjudul : ﺑﺎﺏ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻔِﺮَﺍﺵِ Bab Tentang Shalat di Atas Tempat Tidur. Kemudian beliau menyebutkan atsar dan beberapa hadits dengan sanadnya yang menjelaskan bahwa Anas radhiallahu ‘anhu, begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di atas tempat tidur.

Namun dalam hal ini para ulama memberikan syarat, yaitu seseorang bisa melakukan sujud dengan kokoh ketika itu.

Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullah, anggota Haiah Kibaril Ulama (Lembaga Ulama Senior) Arab Saudi dan Al Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah wal Ifta (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) Arab Saudi pernah ditanya: Apakah boleh melakukan shalat di tempat yang lebih tinggi dari lantai, seperti tempat tidur dan yang semisalnya karena seseorang ragu akan kesucian lantai tersebut, dalam keadaan dia tidak memiliki udzur seperti sakit dan yang semisalnya?

Beliau hafidhahullah menjawab : Tidak mengapa seseorang shalat di atas sesuatu yang tinggi seperti tempat tidur atau yang semisalnya jika sesuatu itu suci dan posisinya kokoh, tidak menimbulkan goncangan dan gangguan terhadapnya. (Al Muntaqa Min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 2/143)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya : Akhir-akhir ini telah beredar banyaknya karpet-karpet masjid yang baru atau diperbaharui dengan busa putih yang padat, diletakkan di bawah sajadah-sajadah tempat shalat. Hal itu menjadikan orang yang berjalan di atasnya seperti berjalan di atas tanah yang lembek sekali, juga menjadikan orang yang sujud tidak bisa meletakkan dahi, hidung, dan kedua lututnya dengan kokoh ketika sujud. Kami mengharap dari anda penjelasan hukum tentang hal ini, di mana hal ini telah tersebar di masjid-masjid, dan kadang karpet-karpet yang lama juga diangkat dan diganti dengan yang baru bersama dengan adanya tambahan busa-busa tersebut.

Beliau rahimahullah menjawab : Jika busa itu tipis dan tertekan ketika ada yang sujud di atasnya, maka tidak mengapa. Tetapi lebih baik ditinggalkan agar orang-orang tidak berbangga-bangga dengannya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Al ‘Utsaimin 13/184)

Adapun shalat di atas meja, maka hukumnya sama dengan shalat di atas tempat tidur.

Wabillahit taufiq, wa shallallahu wa sallam ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Sumber: Milis Nashihah

Macam - macam Tathayur di Sekitar Kita

Macam - macam Tathayur di Sekitar Kita - Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah, “Tathayur adalah beranggapan sial dengan sesuatu yang terlihat, terdengar, atau sesuatu yang telah maklum. Yang terlihat seperti terbangnya burung, yang terdengar seperti suara burung dan sejenisnya, serta yang maklum yakni sesuatu yang tidak terdengar dan tidak terlihat, seperti beranggapan sial dengan hari tertentu, dengan bulan tertentu, dan lainnya.”

Seorang yang bertathayur telah menyelisihi perkara tauhid dari dua sisi,

1. Dia memutuskan hawa nafsu tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersandar kepada sesuatu selain-Nya.

2. Menggantungkan hati kepada sesuatu yang tidak ada hakikatnya. (diringkas dari al-Qaulul Mufid Syarah Kitab at-Tauhid)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan berkata, “… Tiyarah (tathayur) adalah syirik karena terkandung perbuatan menggantungkan hati kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Fathul Majid)

Dalil Haramnya Tathayur

Banyak dalil yang menunjukkan haramnya tathayur, bahkan tathayur adalah satu macam kesyirikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berkata,
“Tiyarah adalah syirik, tiyarah adalah syirik (beliau ucapkan tiga kali)….” (HR. Abu Dawud no. 3910, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh Albani)

Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda,
“Tidak ada penyakit menular, tidak ada tiyarah, hamah, dan tidak ada pula (bulan) Shafar.” [1] (HR. Al-Bukhari no. 5757)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan menerangkan, hadits ini jelas menunjukkan haramnya tiyarah, dan tiyarah adalah syirik karena terdapat perbuatan menggantungkan hati kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata, “Tathayur menjadi syirik besar jika seseorang yang bertathayur meyakini perkara yang dia jadikan sarana tathayur bisa berbuat dan melakukan kejelekan dengan sendirinya. Jika dia meyakini sebagai sebabnya saja, hukumnya adalah syirik kecil.”

Bentuk-Bentuk Tathayur, Kesyirikan yang Dianggap Biasa :

Kalau kita mau mengumpulkan bentuk-bentuk tathayur yang dilakukan masyarakat, niscaya akan kita dapatkan banyak sekali bentuk tathayur yang mereka lakukan dengan berbagai macam objeknya. Lebih sangat disayangkan, banyak orang menganggap hal tersebut sebagai perkara biasa. Mereka tidak paham bahwa perkara tathayur merusak tauhid seorang muslim.

Dalam tulisan ini akan disebutkan secara global sebagian bentuk tathayur yang ada di masyarakat kita. Mudah-mudahan menjadi nasihat bagi kaum muslimin untuk menjauhi tathayur dan mengingatkan orang lain yang masih sering melakukannya.

Di antara bentuk tathayur yang menyebar di masyarakat kita.

1. Bertathayur dengan melihat arah terbangnya burung

Ini adalah asal mula tathayur; beranggapan sial dengan burung. Jika melihat burung terbang ke kanan misalnya, mereka melakukan apa yang telah diniatkan sebelumnya. Namun, jika melihat burung ke arah kiri, mereka mengurungkan niat beraktifitas, bepergian, atau lainnya.

2. Bertathayur dengan hari tertentu

Di antaranya adalah keyakinan sebagian orang bahwa malam Jum’at adalah malam yang keramat, yang pada hari itu banyak terjadi musibah.

Di sebagian daerah, orang tidak mau bekerja di hari Senin. Masuk ke dalam poin ini, perbuatan sebagian orang yang menganggap sial kalau anaknya lahir di tanggal dua puluh satu.

3. Bertathayur dengan bulan tertentu

Seperti keyakinan jahiliah yang meyakini Shafar sebagai bulan sial dan Syawal adalah bulan sial bagi yang menikah di bulan tersebut.

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha di bulan Syawal dan Aisyah radhiyallahu ‘anha berbangga-bangga dengan itu kepada istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang lain.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam al-Bidayah wan Nihayah, “Bersandingnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha di bulan Syawal adalah bantahan bagi sebagian orang yang tidak menyenanginya dengan sangkaan khawatir adanya perceraian di antara keduanya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah berkata,
“Tidak ada penyakit menular, tidak ada tiyarah, tidak ada keyakinan kepada burung hantu, dan tidak ada keyakinan tentang sialnya (bulan) Shafar.”

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah beranggapan sial di bulan tersebut.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata bahwa beranggapan sial dengan bulan Shafar termasuk tiyarah yang dilarang, demikian juga beranggapan sial dengan hari tertentu seperti hari Rabu dan anggapan sial ala jahiliah jika menikah di bulan Syawal. Semisal dengan ini di masyarakat kita adalah tiyarah dengan bulan Sura (Muharram) sehingga sebagian orang tidak mau melakukan acara pernikahan di bulan tersebut.

4. Bertathayur dengan angka tertentu

Sebagian mereka beranggapan sial dengan angka tertentu. Kelompok yang paling terkenal kedunguannya dalam masalah angka adalah Syiah Rafidhah, karena mereka antipati terhadap angka sepuluh. Mengapa? Karena akidah merela yang sesat membenci bahkan mengkafirkan sepuluh orang sahabat yang dipastikan masuk surga (termasuk Ali).

Masuk ke dalam poin ini adalah perbuatan sebagian orang yang menganggap adanya nomer-nomer keberuntungan, seperti angka delapan, atau nomer-nomer sial, seperti angka tiga belas. Mereka rela mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli nomer-nomer telepon atau memesan pelat nomer kendaraan yang mengandung hoki (keberuntungan) menurut mereka, angka delapan misalnya.

5. Bertathayur dengan ayat al-Qur’an

Sebagian orang bahkan beranggapan sial dengan al-Qur’an. Mereka membuka mushaf, jika yang terbuka ayat tentang azab mereka pun beranggapan sial.

6. Bertathayur dengan burung hantu

Di antara bentuk tiyarah jahiliah adalah beranggapan sial dengan burung malam atau kadang disebut burung hantu. Sebagian orang berkeyakinan kalau rumahnya didatangi burung tersebut, ada salah seorang dari penghuninya yang akan wafat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berkata,
“Tidak ada penyakit menular, tidak ada tiyarah, dan tidak ada keyakinan kepada burung hantu….”

Asy-Syaikh Abdurrahman Alu asy-Syaikh berkata, “Al-Farra’ berkata, ‘Al Hamah adalah salah satu burung malam’.”

Ibnur Arabi rahimahullah berkata, “Mereka dahulu turut beranggapan jika ada burung hinggap di rumah salah seorang dari mereka, ia akan berkata, ‘Burung ini membawa kabar duka untukku atau kepada salah seorang penghuni rumah’.”

Demikian yang terjadi di masyarakat Arab. Bisa jadi, setiap masyarakat memiliki anggapan demikian terhadap jenis burung yang lain.

7. Bertathayur dengan gatal yang ada di tubuhnya

Kalau gatal di telapak tangan kanan, itu tanda kebaikan; kalau yang gatal yang kiri berarti tanda kejelekan.

8. Di antara bentuk tathayur yang ada, mereka tidak jadi bepergian karena ketika hendak pergi ada gelas atau piring yang pecah atau melihat hewan tertentu

9. Bertathayur dengan suara gemuruh di telinga

Ketika di telinganya ada suara-suara gemuruh dianggap sebagai tanda kejelekan.

10. Bertathayur ketika bertemu dengan orang buta atau cacat lainnya

11. Bertathayur dengan tempar tertentu

Di antara tempat yang dijadikan tathayur adalah tempat, ketika banyak kecelakaan di satu tempat misalnya, mereka menganggap sebagai tempat “angker” yang memiliki pengaruh dalam kecelakaan-kecelakaan yang ada.

12. Sebagian pedagang melakukan tathayur dengan minta uang pas dari pembeli pertama

Sebagian mereka beranggapan kalau dalam penjualan pertama (penglaris) mengeluarkan uang kembalian maka akan merusak jualannya di hari tersebut.

13. Bertathayur dengan beberapa aktivitas

Di antaranya tathayur dengan menyapu rumah ketika dirinya sedang safar atau (pergi ke) salah satu keluarganya. Mereka menyangka bahwa itu adalah sebab kebinasaannya.

Demikian juga mereka bertathayur dengan menyapu rumah di waktu siang atau malam karena mereka menyangka itu adalah sebab dihilangkan berkah dan rezeki.

Mudah-mudahan sedikit tulisan ini bisa menjadi pencerahan bagi orang-orang yang terkadang masih terjatuh pada tathayur dan juga bermanfaat sebagai bahan nasihat bagi kaum muslimin.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:
[1] “Tidak ada penyakit menular”, maksudnya yang menular dengan sendirinya tanpa kehendak Allah. “Hamah” maksudnya anggapan sial dengan burung hantu. Adapun “tidak ada bulan Shafar” maksudnya anggapan sial dengan bulan Shafar. (-ed.)

[Faidah ini diambil dari majalah Asy Syariah no. 82/VII/1433 H/2012, dalam artikel “Tathayur Praktik Syirik Masa Jahiliah” tulisan Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak, hal. 52-54 dan 82.

Hadits-Hadits Lemah Berkaitan Malaikat Ridhwan [Malaikat penjaga Syurga]

malaikat
Hadits-Hadits Lemah Berkaitan Malaikat Ridhwan [Malaikat penjaga Syurga] - Ada empat hadits yang menyebutkan bahwa nama malaikat penjaga surga adalah Ridwan. Akan tetapi semua hadits tersebut adalah hadits yang sangat lemah dan tidak bisa saling menguatkan. Berikut uraiannya:

1. Hadits Ubai bin Ka’ab

Diriwayatkan oleh Al-Qadhai dalam Musnad Asy-Syihab (1036) dari jalan Mukhallad bin Abdil Wahid dari Ali bin Zaid bin Jud’an dan Atha` bin Abi Maimunah dari Zirr bin Hubaisy dari Ubai secara marfu’,

“Tidak ada seorang muslim pun yang membaca Yasin sedang dia berada dalam sakaratul maut, maka tidaklah malaikat maut mencabut nyawanya sampai Ridwan penjaga surga memberinya minuman.”

Di dalam sanadnya ada Ali bin Zaid bin Jud’an yang sudah masyhur sebagai rawi yang lemah. Ditambah lagi dengan adanya Mukhallad bin Abdil Wahid, yang Ibnu Hibban berkata tentangnya -dalam Al-Majruhin (1096), “Mungkarul hadits jiddan (orang yang sangat mungkar haditsnya).”

2. Hadits Abdullah bin Abbas

Diriwayatkan oleh Abu Asy-Syaikh dalam kitab Ats-Tsawab dan Al-Baihaqi dalam Syuab Al-Iman tentang kisah berhiasnya surga setiap memasuki ramadhan, dan di dalamnya tersebut:

“Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wahai Ridwan, bukalah pintu-pintu surga.”

Hadits ini datang dari jalan Adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas secara marfu’. Haditsnya lemah karena Adh-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu Abbas.

3. Hadits Abdullah bin Abi Aufa

Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda,
“Lalu saya berkata (di dalam surga), “Wahai Ridwan, punya siapa istana ini?”

As-Suyuthi menyatakan dalam Al-Jami’ Al-Kabir -sebagaimana dalam Kunzul Ummal-, “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Ibnu Asakir dari Abdullah bin Abi Aufa, sedang di dalam sanadnya ada Abdurrahman bin Muhammad Al-Maharibi dan Ammar bin Saif, keduanya sering meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar.” Lihat Mizan Al-I’tidal (2/585) dan (3/165).

4. Hadits Anas bin Malik

Diriwayatkan oleh Al-Uqaili dalam Adh-Dhuafa (1/313) dari jalan Hamzah bin Washil Al-Minqari dari Qatadah dari Anas secara marfu’ dengan lafazh,

“Rabbul Izzah -Tabaraka wa Ta’ala- memanggil Ridhwan -dan dia adalah penjaga surga-.”

Al-Uqaili berkata setelahnya, “Hamzah bin Washil Al-Minqari, seorang dari Bashrah, majhul dalam periwayatan dan haditsnya tidak terjaga.”

(Ust. Abu Muawiah)

Sumber: http://al-atsariyyah.com/ridwan-malaikat-penjaga-surga.html

Apakah Benar Bumi Itu Bulat?

bumi
Apakah Benar Bumi Itu Bulat? - Pertanyaan: Surat berikut ini datang dari Kenya, dikirim oleh saudara kita, seorang penuntut ilmu bernama Ibrahim Muhammad Al Awwal. Dia berkata, “Saya telah mendengarkan program acara Nurun ‘alad-Darb dan saya mendapatkan banyak manfaat dari acara tersebut. Saya kirimkan pertanyaan ini karena topik mereka yang membingungkan saya. Masalah itu adalah bumi itu bulat atau datar?”

Dijawab Oleh Asy Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz:

Menurut para ulama, bumi itu bulat. Seperti Ibnu Hazm dan sekelompok ulama lainnya meneyebutkan bahwa ulama telah sepakat (berijma’) bahwa bumi itu bulat. Artinya semua bagian bumi saling berhubungan yang menyebabkan bentuk planet bumi seperti bola. Meski demikian Allah telah menghamparkan permukaan bumi ini untuk kita dan Dia telah menempatkan gunung-gunung di atasnya dengan kokoh, menempatkan hewan dan laut di atasnya sebagai karunia nikmat Allah untuk kita.

Allah berfirman (yang artinya):
“Dan (apakah mereka tidak melihat) bumi, bagaimana ia dihamparkan.” (QS. Al-Ghasiyyah: 20)

Jadi, bumi diciptakan Allah untuk kita dalam keadaan datar dilihat dari permukaannya sehingga manusia dapat hidup di atasnya dan tinggal di atasnya dengan nyaman. Fakta bahwa bumi bulat tidak menafikan bahwa permukaan bumi adalah datar (dihamparkan -red). Karena sesuatu yang berbentuk bulat dan berukuran sangat besar jika permukaannya datar maka permukaan tersebut akan terhampar. (Diterjemahkan dari http://www.fatwaonline.com, merujuk pada Rekaman Fatwa Syaikh Bin Baz)

Benarkah Membaca Al-Asmaul Husna Bisa Mendatangkan Jin (Khodam)?

jin
Benarkah Membaca Al-Asmaul Husna Bisa Mendatangkan Jin (Khodam)? - Dikalangan orang tarekat sufiah tertentu [kebetulan saya pernah mempelajarinya] menganggap bahwa jika kita mengamalkan salah satu asmaul khusna, mengistiqomahkan dengan berdzikir dengannya, akan mendatangkan khodam / jin. Tapi apakah benar demikian. Ada Uraian berikut semoga bisa memperjelas semuanya

Ada penanya: Benarkah asmaul husna dapat mendatangkan jin (khodam), lalu bagaimana pendapat yang jelas?

Jawab oleh Syeikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah:
Alhamdulillah rabbil ‘aalamiin, washshalaatu wassalaamu ‘alaa rasuulillah, wa ‘alaa aalihii wa shahbihi ajma’iin.

Seorang muslim tidak diperkenankan berbicara, mengamalkan atau meyakini sesuatu yang berkaitan dengan nama-nama Allah kecuali dengan dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah yang shahihah. Dan tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa Al-Asmaaul Husnaa digunakan untuk mendatangkan jin atau khodam. Bahkan ini termasuk penyelewengan dalam menggunakan nama-nama Allah ta’aalaa.

Allah ta’aalaa berfirman:
Artinya: “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. 7: 180)

Adapun keberhasilan sebagian orang dalam mendatangkan jin dengan membaca Al-Asmaaul Husnaa maka ini tidak bisa dijadikan dalil, karena kedatangan jin tersebut bukan karena Al-Asmaul Husnanya, akan tetapi ada faktor lain, seperti membaca Al-Asmaaul Husnaa dicampur dengan nama jin, atau mantra-mantra yang mengandung kesyirikan.

Berkata Syeikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah:

‎ ‎‏ ﻭﻗﺪ ﻳﻐﻠﻮ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻓﻴﺰﻋﻤﻮﻥ ﺃﻥ ﻟﻜﻞ ﺍﺳﻢ ﻣﻦ ﺃﺳﻤﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺤﺴﻨﻰ ﺧﻮﺍﺹ ﻭﺃﺳﺮﺍﺭﺍ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑﻪ ﻭﺃﻥ ﻟﻜﻞ ﺍﺳﻢ ﺧﺎﺩﻣﺎ ﺭﻭﺣﺎﻧﻴﺎ ﻳﺨﺪﻡ ﻣﻦ ﻳﻮﺍﻇﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﺑﻪ.…ﻭﻫﺬﺍ ﻓﺘﺢ ﻟﺒﺎﺏ ﺍﻟﺨﺮﺍﻓﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﺼﺮﺍﻋﻴﻪ ﺑﻞ ﺇﻥ ﻛﺜﻴﺮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺤﺮﺓ ﻭﺍﻟﻤﺸﻌﻮﺫﻳﻦ ﺩﺧﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻛﻴﺪﺍ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻭﺗﺤﺼﻴﻼ ﻟﻠﻤﻄﺎﻣﻊ ﻭﻧﺸﺮﺍ ﻟﻠﺸﺮ ‏ ‎

“Dan sebagian manusia berlebih-lebihan dalam bab ini (al-asmaul husna), mereka menyangka bahwa setiap nama dari nama-nama Allah yang baik memiliki kekhususan dan rahasia-rahasia yang berkaitan dengannya, dan bahwasanya setiap nama tersebut memiliki khadam yang membantu orang yang senantiasa membacanya…, dan keyakinan seperti ini membuka lebar pintu khurafat, bahkan sesungguhnya kebanyakan tukang sihir dan dukun-dukun menggunakan cara ini untuk menipu manusia, menghasilkan apa yang mereka inginkan, dan menyebarkan kejahatan.” (Fiqh Al-Asmaaul Husnaa hal: 68)

Dan seorang muslim hendaknya meninggalkan perbuatan meminta bantuan jin, meskipun untuk tujuan yang diperbolehkan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukannya, demikian pula para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.

Dan juga dikhawatirkan terjerumus dalam hal yang terlarang seperti kesyirikan, karena sangat lihainya jin menipu dan menyesatkan manusia dari jalan Allah.Wallahu a’lam.

Apakah Jin Kepanasan Jika Mendengar Al Qur’an?

jin
Apakah Jin Kepanasan Jika Mendengar Al Qur’an? - banyak orang bilang, jika kita membaca alqur'an maka jin akan merasa kepanasan mendengarkan bacaan al qur'an orang yang membaca. Apakah benar Jin Kepanasan Jika Mendengar Al Qur’an?. Berikut sedikit uraiannya:

Pertanyaan:
1.Apa yakin jin akan kepanasan jika mendengar Al Quran?
2.Kenapa orang kafir tdk kepanasan?
3.Tdk ada jin yg mau masuk Islam dong karna baru dngar dikit z sudah lari takut kpanasan?
4.Jin atau orang yg dpat hidayah masuk islam kn caranya bnyak minimal dngar dulu ayat2 alquran, bru z dngar sudah kepanasan, aneh gk?
kang anton (d.sulaxxxxxx@yahoo.com)

Jawaban :

Bismillahirrahmanirrahim. Pertama, perlu kita ingat bahwa seorang muslim harus beriman kepada perkara yang ghaib, yang tidak dapat dirasakan oleh panca indera tetapi sudah dinyatakan keberadaannya oleh dalil. Alloh ta’ala mengingatkan :

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (Al Baqarah : 2-3).

Seorang muslim juga harus percaya bahwa salah satu sifat Al Qur’an adalah penawar penyakit. Alloh ta’ala berfirman :

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (Al Isra’ : 82).

Seorang muslim juga harus percaya bahwa Al Qur’an –dengan izin Alloh-memiliki kekuatan yang luar biasa. Alloh ta’ala menegaskan :

لَوْ أَنزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (Al Hasyr : 21).

Adapun jawaban dari pertanyaan anda :

Ya, dan ini sudah terbukti bagi yang pernah meruqyah atau menyaksikan proses ruqyah. Ada beberapa hadits yang mengisyaratkan tentang hal ini :

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya setan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780)

Rasulullah -shalallahu alaihi wa alihi wasallam- juga bersabda:

إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ

“Apabila azan dikumandangkan maka setan akan lari sambil kentut hingga dia tidak mendengarkan azan lagi. (HR. Al-Bukhari no. 608 dan Muslim no. 389 dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-).

Dan setan termasuk bangsa jin. Dalilnya adalah firman Alloh ta’ala :

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam.” Maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, lalu dia mendurhakai perintah Tuhannya.” (Al Kahfi : 50).

Jika yang dimaksud dengan kepanasan adalah seperti kepanasannya jin yang diruqyah, maka itu tidak terjadi. Sebab, asal penciptaan mereka berbeda. Jin diciptakan dari api, sedangkan manusia yang kafir itu diciptakan dari tanah. Allah ta’ala yang telah menetapkan seperti itu agar ada orang kafir yang mendapat hidayah setelah mendengarkan bacaan Al Qur’an.

Adapun bila yang dimaksud dengan kepanasan adalah kegelisahan hati mereka dan kebencian mereka terhadap bacaan Al Qur’an itu, maka itu terjadi pada sebagian mereka. Alloh ta’ala berfirman :

وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُمْ هَٰذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَٰذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang menjelaskan, berkatalah orang-orang yang mengingkari kebenaran ketika kebenaran itu datang kepada mereka: “Ini adalah sihir yang nyata”. (Al Ahqaf : 7).

وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ مَّا كَانَ حُجَّتَهُمْ إِلَّا أَن قَالُوا ائْتُوا بِآبَائِنَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan mereka selain dari mengatakan: “Datangkanlah nenek moyang kami jika kalian adalah orang-orang yang benar.” (Al Jatsiyah : 25).

وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ تَعْرِفُ فِي وُجُوهِ الَّذِينَ كَفَرُوا الْمُنكَرَ يَكَادُونَ يَسْطُونَ بِالَّذِينَ يَتْلُونَ عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا

“Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka.” (Al Hajj : 72).

وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالُوا مَا هَٰذَا إِلَّا رَجُلٌ يُرِيدُ أَن يَصُدَّكُمْ عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُكُمْ وَقَالُوا مَا هَٰذَا إِلَّا إِفْكٌ مُّفْتَرًى وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُمْ إِنْ هَٰذَا إِلَّا سِحْرٌ مُّبِينٌ

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, mereka berkata: “Orang ini tiada lain hanyalah seorang laki-laki yang ingin menghalangi kalian dari apa yang disembah oleh nenek moyang kalian”, dan mereka berkata: “(Al Quran) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja”. Dan orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”. (Saba’ : 43).

وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْآنٍ غَيْرِ هَٰذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِن تِلْقَاءِ نَفْسِي إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya sesuai kemauan diriku. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. (Yunus : 15).

وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّىٰ مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah belum mendengarnya. Seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya. Maka berilah dia kabar gembira dengan azab yang pedih. (Luqman : 7).

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَٰذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ

“Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran ini, dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka”. (Fushshilat : 26).

وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا قَالُوا قَدْ سَمِعْنَا لَوْ نَشَاءُ لَقُلْنَا مِثْلَ هَٰذَا إِنْ هَٰذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata: “Sesungguhnya Kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau Kami menghendaki niscaya Kami dapat membacakan yang seperti ini, (Al Quran) ini tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-orang terdahulu”. (Al Anfal : 31).

Jin yang kepanasan ketika diruqyah dengan Al Qur’an tidaklah langsung lari. Biasanya mereka akan berteriak dan meminta kepada orang yang meruqyah untuk menghentikan bacaan. Nah, saat itulah kesempatan untuk mengajaknya masuk Islam.

Tetapi para ulama mengatakan hendaknya orang yang meruqyah sebisa mungkin tidak berbicara kepada jin yang ada pada tubuh orang yang diruqyah, karena hal itu lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya. Bangsa jin terkenal sebagai bangsa yang banyak berdusta, sehingga walaupun jin itu sudah bicara tentang banyak hal yang menghabiskan waktu, perkataannya tidaklah bisa dipegang. Kemudian percakapan antara peruqyah dengan jin itu dijadikan sebagai waktu untuk istirahat dan memulihkan kekuatan oleh jin itu karena si peruqyah tidak lagi membacakan Al Qur’an. Percakapan tersebut juga menjadikan si sakit lebih menderita karena tubuhnya menjadi lebih lama dikendalikan oleh jin itu.

Jin yang diruqyah dengan Al Qur’an tidaklah langsung kepanasan. Hal ini tergantung dengan kadar keikhlasan dan kekuatan iman si peruqyah, konsentrasi si penderita dalam mendengarkan ayat-ayat tersebut, serta sejauh mana dia menghadap kepada Alloh ta’ala.

Si peruqyah hendaknya tidak terlalu bersemangat menjadikan jin tersebut masuk Islam. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan bahwa bangsa jin terkenal sebagai bangsa yang banyak berdusta. Sehingga walaupun secara dhahir jin itu sudah membaca syahadat dan berjanji untuk melaksanakan ajaran Islam, tetapi merupakan perkara yang mudah jika setelah jin itu keluar dari tubuh si sakit, dia akan kembali kafir. Lagipula, tujuan utama dari ruqyah itu adalah mengusir jin tersebut dari tubuh si sakit. Wabillahit taufiq.

Sumber: http://fadhlihsan.wordpress.com

Apakah Anak Hasil Zina Bisa Masuk Surga?

surga
Apakah Anak Hasil Zina Bisa Masuk Surga? -banyak dikalangan remaja kita kaum muslimin, dengan pergaulan bebas mereka, sehingga mereka melakukan perzinahan yang berdosa sangat besar. Dari hasil perzinaan itu, mereka mempunyai anak dari hasil zina. Apakah Anak Hasil Zina Bisa Masuk Surga?

Soal: Apakah anak hasil zina bisa masuk surga bila menjadi orang yang bertakwa, sebab ia berasal dari daging yang hina?

Dijawab oleh Al Lajnah Ad Daimah Lilbuhutsi Al 'Ilmiyati wal Ifta' Saudi Arabia:

Seorang anak zina akan masuk surga apabila ia mati di atas Islam. Keadaannya sebagai anak hasil zina tidak berpengaruh dalam hal ini. Sebab zina tersebut bukanlah perbuatannya, namun perbuatan orang lain. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Dan seseorang tidaklah akan memikul beban dosa orang lain.” (QS. Al-An’am: 164)

Dan juga sesuai dengan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Setiap jiwa terikat dengan apa yang dilakukannya.” (QS. Al-Mudatstsir: 38)

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih bagi mereka surga yang penuh dengan kenikmatan.” (QS. Luqman: 8) Serta ayat lainnya yang semakna.

Adapun yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau bersabda yang artinya,

“Tidak akan masuk ke dalam surga anak zina.”

Maka hadits ini tidak benar datang dari beliau. Al Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah telah menymdbutkannya dalam kitab Al-Maudhu’at (daftar hadits palsu). Dan memang hadits ini adalah hadits dusta yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam.

Wa billahittaufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 18 vol. 02 1433 H – 2012 M, hal. 53-54.

Apa Ganjaran Seorang Dokter?

Apa Ganjaran Seorang Dokter? - Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin
Soal: Keutamaan ilmu syar’i telah banyak diketahui. Dan para pengembannya pun merupakan ahli waris para nabi. Saya berharap Anda menjelaskan ganjaran apa yang akan didapatkan oleh para dokter, yang mana mereka seringkali tidak tidur malam untuk merawat pasien, atau untuk membaca dan belajar?

Jawaban:

Tidak diragukan bahwa mereka akan mendapatkan ganjaran pahala sesuai dengan niat dan amalan mereka masing-masing. Karena ilmu kedokteran bukanlah ilmu yang ditujukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk hal lain. Oleh karena itu, sebagian ulama berpandangan bahwa mempelajari ilmu kedokteran merupakan fardhu kifayah. Di antara kaum muslimin harus ada yang menjadi dokter. Sehingga ilmu kedokteran itu dimasukkan ke dalam fardhu kifayah, karena ia salah satu hal yang diperlukan umat.

Kalau dengan pekerjaannya ini, seseorang berniat memenuhi perkara fardhu tersebut, juga untuk berbuat baik kepada sesama, maka ia akan mendapatkan pahala yang banyak. Barang yang sama jenisnya, bisa dijual oleh seseorang, dan orang tersebut mendapatkan dosa. Bisa juga dijual oleh orang lain, dan orang tersebut mendapatkan pahala.

Kalau barang tersebut Anda jual kepada orang yang membutuhkan, dan dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan orang itu, apakah Anda mendapatkan pahala atau tidak? (Tentu mendapatkan pahala -pent.) Padahal Anda pun mengambil uang ganti. Tapi kalau Anda menjualnya kepada orang yang ingin menggunakannya untuk memerangi kaum muslimin, maka Anda berdosa. Jadi, niat itu sangat memengaruhi ganjaran pahala yang didapatkan.

(Diterjemahkan oleh Tim Naskah dari Irsyaadaat Lith Thobiib al-Muslim)

Sumber: Majalah Asy-Syifa edisi 03/1433/2012, hal. 46-47.

Adakah Shalat Qabliyyah Isya?

sholat qobliyah isya
Adakah Shalat Qabliyyah Isya? - Ada sholat qobliyah dan ba'diyah sebelum sholat dan sesudah sholat wajib, tapi tidak semua sholat di sunnahkan mengerjakannya. Terkhusus untuk sholat 'isya, Adakah Shalat Qabliyyah Isya?. Ada seorang penanya: Mau tanya ustadz, apa hukumnya sholat qobliyah isya’? Adakah dalil khusus yang menerangkannya? Berapa rekaat sunnahnya? Syukron. (Azzahra)

Jawab:
Saya tidak mengetahui dalil khusus tentang disyari’atkannya shalat sunnah sebelum isya, dan yang saya ketahui dianjurkan bagi kita untuk shalat sunnah sebelum isya, karena keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

بين كل أذانين صلاة قالها ثلاثا قال في الثالثة لمن شاء

“Setiap diantara 2 adzan (yaitu adzan dan iqamah) ada shalat, -beliau ucapkan 3 kali-, kemudian beliau bersabda pada kali yang ketiga: Bagi siapa yang menghendaki” (HR.Al-Bukhary dan Muslim)

Jumlah rakaatnya boleh 2 atau 4 atau lebih karena kata shalat di dalam hadist tersebut nakirah (belum jelas) sehingga mencakup semua bilangan shalat sunnah yang diniatkan baik dua rakaat, atau empat, atau lebih , sebagaimana perkataan Ibnu Hajar Al-’Asqalany di dalam Fathul Bary (2/107 )

Namun perlu diketahui bahwa sunnah qabliyyah Isya’ ini meski dianjurkan, tapi dia tidak termasuk rawatib yang tercantum dalam hadist Ummu Habibah:

ما من عبد مسلم يصلي لله كل يوم ثنتي عشرة ركعة تطوعا غير فريضة إلا بني الله له بيتا في الجنة أو إلا بني له بيت في الجنة

“Tidaklah seorang hamba muslim shalat sunnah selain fardhu 12 rakaat setiap harinya untuk Allah, kecuali Allah akan membangun baginya surga atau kecuali akan dibangun baginya rumah di dalam surga” (HR. Muslim)

Kemudian diterangkan perinciannya di dalam riwayat At-Tirmidzy:

من صلى في يوم وليلة ثنتي عشرة ركعة بني له بيت في الجنة أربعا قبل الظهر وركعتين بعدها وركعتين بعد المغرب وركعتين بعد العشاء وركعتين قبل صلاة الفجر

“Barangsiapa shalat 12 rakaat dalam sehari semalam maka akan dibangun baginya rumah di dalam surga: 4 rakaat sebelum dhuhur, 2 rakaat setelahnya, 2 rakaat setelah maghrib, 2 rakaat setelah isya, dan 2 rakaat sebelum subuh” (HR. At-Tirmidzy dan dishahihkan Syeikh Al-Albany). Wallahu a’lam.

Adakah Doa Setelah Iqamat?

iqomat
Adakah Doa Setelah Iqamat? - Banyak di masjid-masjid kaum muslimin, mungkin kita sering menjumpai orang-orang banyak berdo'a setelah iqomat. Sebenarnya Adakah Doa Setelah Iqamat?, diambil dari Majmu’ Fatawa Ibn Baz (10/364-365) ada penanya yang menanyakan hal tersebut.

Pertanyaan: Ada seorang imam masjid yang ketika dikumandangkan iqamat, dia berdiri di mihrab dan mengucapkan:

ﺃَﻗَﺎﻣَﻬَﺎ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺃَﺩَﺍﻣَﻬَﺎ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺭَﺏَّ ﻫٰﺬِﻩِ ﺍﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ ﺍﻟﺘَّﺎﻣَّﺔِ ﻭَﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺍﻟْﻘَﺎﺋِﻤَﺔِ ﺁﺕِ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﺍﻟﻮَﺳِﻴْﻠَﺔَ ﻭَﺍﻟْﻔَﻀِﻴْﻠَﺔَ، ﻭَﺍﺑْﻌَﺜْﻪُ ﻣَﻘَﺎﻣًﺎ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩًﺍ ﺍﻟّﺬِﻱْ ﻭَﻋَﺪْﺗَﻪُ ﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﺎ ﺗُﺨْﻠِﻒُ ﺍﻟْﻤِﻴْﻌَﺎﺩَ‏

“Semoga Allah menjadikannya tegak dan kekal. Ya Allah pemilik panggilan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan, berilah Muhammad wasilah dan keutamaan dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan padanya. Sesungguhnya Engkau tidaklah mengingkari janji.”

Apakah doa tersebut ada riwayatnya, atau ada doa yang lain? Ataukah doa tersebut yang lebih utama?

Jawaban:
Jika muadzin selesai mengumandangkan adzan, hendaknya dia bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan:

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺭَﺏَّ ﻫٰﺬِﻩِ ﺍﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ ﺍﻟﺘَّﺎﻣَّﺔِ ﻭَﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺍﻟْﻘَﺎﺋِﻤَﺔِ ﺁﺕِ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﺍﻟﻮَﺳِﻴْﻠَﺔَ ﻭَﺍﻟْﻔَﻀِﻴْﻠَﺔَ، ﻭَﺍﺑْﻌَﺜْﻪُ ﻣَﻘَﺎﻣًﺎ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩًﺍ ﺍﻟّﺬِﻱْ ﻭَﻋَﺪْﺗَﻪُ (1)‏

Demikianlah yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih beliau dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhuma. Orang yang mendengarkan adzan selain muadzin juga mengucapkan doa tersebut, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢْ ﺍﻟْﻤُﺆَﺫِّﻥَ ﻓَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻣِﺜْﻞَ ﻣَﺎ ﻳَﻘُﻮﻝُ (2)‏

“Jika kalian mendengar muadzin (mengumandangkan adzan) maka ucapkanlah seperti apa yang dia ucapkan.”

Hadits ini disepakati akan keshahihannya. Jika dia menambah pada doanya:

ﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﺎ ﺗُﺨْﻠِﻒُ ﺍﻟْﻤِﻴْﻌَﺎﺩَ‏

“Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji.”

Maka itu benar karena perbuatan tersebut ada dalam riwayat Al Baihaqi rahimahullah. Doa tersebut juga diucapkan setelah iqamat karena iqamat adalah adzan kedua, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ﺑَﻴْﻦَ ﻛُﻞِّ ﺃَﺫَﺍﻧَﻴْﻦِ ﺻَﻠَﺎﺓٌ (3)‏

“Di antara setiap dua adzan ada shalat.”

Adapun kalimat:

ﺃَﻗَﺎﻣَﻬَﺎ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺃَﺩَﺍﻣَﻬَﺎ

Maka sungguh telah datang tentangnya sebuah hadits yang lemah. Yang paling utama adalah mengucapkan:

‏ ﻗَﺪْ ﻗَﺎﻣَﺖِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ‏

Seperti ucapan muadzin:

ﻗَﺪْ ﻗَﺎﻣَﺖِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﻗَﺪْ ﻗَﺎﻣَﺖِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ‏

sebagai ganti dari ﺃَﻗَﺎﻣَﻬَﺎ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺃَﺩَﺍﻣَﻬَﺎ , karena lafadz ﺃَﻗَﺎﻣَﻬَﺎ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺃَﺩَﺍﻣَﻬَﺎ tidaklah datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cukup mengucapkan (yang sama dengan ucapan muadzin) sebagaimana dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢْ ﺍﻟْﻤُﺆَﺫِّﻥَ ﻓَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻣِﺜْﻞَ ﻣَﺎ ﻳَﻘُﻮﻝُ (4)‏

“Jika kalian mendengar muadzin (mengumandangkan adzan) maka ucapkanlah seperti apa yang dia ucapkan.”

Yakni, mengucapkan:

ﻗَﺪْ ﻗَﺎﻣَﺖِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﻗَﺪْ ﻗَﺎﻣَﺖِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ‏

Dan pada adzan Shubuh, jika muadzin mengucapkan:

ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﻮْﻡِ‏

maka kita cukup mengatakan ucapan yang sama:

ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﻮْﻡِ ‏

Adapun pada:

ﺣَﻲَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ، ﺣَﻲَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻔَﻠَﺎﺡِ‏

Maka kita mengucapkan:

ﻟَﺎ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻟَﺎ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ‏

Karena khabar tentang hal tersebut telah sah datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa:

ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﻋِﻨْﺪَ )ﺣَﻲَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ” : ( ﻟَﺎ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻟَﺎ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ” ﻭَ ﻋِﻨْﺪَ )ﺣَﻲَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻔَﻠَﺎﺡِ( ﻳَﻘُﻮْﻝُ : ” ﻟَﺎ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻟَﺎ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ “‏

“Setelah (muadzin mengucapkan):‎ ﺣَﻲَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ , ‏

beliau berkata:‎ ﻟَﺎ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻟَﺎ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ‏

Dan setelah ﺣَﻲَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻔَﻠَﺎﺡِ ‏

beliau berkata:‎ ﻟَﺎ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻟَﺎ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ .” (5)‏

(Hadits riwayat Muslim dari ‘Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu)

Footnote:
(1) Shahih Al Bukhari Al Adzan (614), Sunan At Tirmidzi Ash Shalat (211), Sunan An Nasa’i Al Adzan (680), Sunan Abu Dawud Ash Shalat (529), Sunan Ibnu Majah Al Adzan wa As Sunnah Fih (722), Musnad Ahmad bin Hanbal (3/354).

(2) Shahih Muslim Ash Shalat (384), Sunan At Tirmidzi Al Manaqib (3614), Sunan An Nasa’i Al Adzan (678), Sunan Abu Dawud Ash Shalat (523), Musnad Ahmad bin Hanbal (2/168).

(3) Shahih Al Bukhari Al Adzan (627), Shahih Muslim Shalat Al Musafirin wa Qashruha (838), Sunan At Tirmidzi Ash Shalat (185), Sunan An Nasa’i Al Adzan (681), Sunan Abu Dawud Ash Shalat (1283), Sunan Ibnu Majah Iqamatush Shalat wa As Sunnah Fiha (1162), Musnad Ahmad bin Hanbal (5/57), Sunan Ad Darimi Ash Shalat (1440).

(4) Shahih Muslim Ash Shalat (384), Sunan At Tirmidzi Al Manaqib (3614), Sunan An Nasa’i Al Adzan (678), Sunan Abu Dawud Ash Shalat (523), Musnad Ahmad bin Hanbal (2/168).

(5) Shahih Muslim Ash Shalat (385), Sunan Abu Dawud Ash Shalat (527). Sumber : "Shalat dan Urgensinya" yang diisi oleh Syaikh Abdul Aziz Ibn Baz rahimahullah

Sunday 27 October 2013

Hukum Memanjangkan Kuku

Hukum Memanjangkan Kuku - banyak kaum muslimin yang dengan sengaja memnjangkan kuku mereka, dengan berbagai alasan. sebenarnya bagaimana hukum memanjangkan kuku baik kuku kaki atau kuku tangan?

Ada seorang penanya yang ditujukan kepada Ladjnah Daimah, Pertanyaan : Bagaimana memanjangkan kuku serta memtakkan kutek diatasnya? sya biasanya berwudhu dulu sebelum memakai kutek dan membiarkannya selama 24 jam sebelum akhirnya saya hapuskan

Dijawab oleh Syekh bin Baz : Memanjangkan kuku termasuk perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan as-Sunnah, dimana nabi telah bersabda:
"Hal yang fitrah itu ada lima atau lima hal merupakan fitrah, yaitu khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur kumis. [Hr. Bukhari]"

Kuku tidak boleh dibiarkan panjang hingga 40 hari. Hal ini berdasarkan keteranagan dari Anas rodhiyallohu'anhu, seraya berkata, "Telah ditentukan bagi kita [kaum muslimin] batas waktu mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan, bahwa tidak boleh membiarkannya lebih dari 40 malam "[HR. Muslim]

Memanjangkan kuku dikategorikan menyerupai binatang dan sebagai orang kafir. Adapun berkenaan dengan kutek, maka meninggalkannya lebih utama, dan wajib menghilangkannya ketika wudhu, karena ia menghalangi sampainya air pada kuku.

Sumber :Syekh bin Baz, Fatawa al-Mar'ah, hal 86