Sunday 15 September 2013

Apakah Bid’ah Bersedekap Setelah Ruku’?

Apakah Bid’ah Bersedekap Setelah Ruku’? - Berikut adalah bantahan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah terhadap pendapat yang menyatakan bahwa bersedekap setelah ruku’ adalah perbuatan bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh kalangan salaf terdahulu. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah mengatakan:

Apabila ada yang mengatakan: “Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani telah menyebutkan dalam hasyiah (catatan tepi atau footnote) Kitab beliau “Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam” halaman 145 cet. Keenam yang bunyinya sebagai berikut:

“Dan aku tidak ragu lagi, bahwa meletakkan kedua tangan di atas dada dalam posisi berdiri tersebut (yakni berdiri setelah bangkit dari kuku’) merupakan bid’ah yang sesat. Sebab sama sekali tidak terdapat dalam satu hadits pun dari hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat, dan betapa banyak hadits-hadits dalam permasalahan shalat. Kalau seandainya hal tersebut memiliki asal (dalil) niscaya akan dinukilkan kepada kita, meskipun hanya melalui satu jalan. Dikuatkan lagi bahwa tidak ada salah seorang dari ulama salaf yang melakukannya dan tidak pula disebutkan oleh salah seorang imam ahlul hadits sepanjang pengetahuanku.”

Jawaban dari hal tersebut dengan mengatakan: “Ya, memang benar saudara kami Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin telah menyebutkan dalam hasyiah kitabnya tersebut, pernyataan sebagaimana yang telah disebutkan tadi. Dan hal itu bisa dijawab dengan beberapa segi:

1. Pernyataan beliau yang memastikan bahwa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri setelah ruku’ adalah bid’ah yang sesat, merupakan kesalahan yang sangat jelas, tidak ada seorangpun dari kalangan ahlul ilmi yang mendahuluinya.
Demikian juga hal itu menyelisihi hadits-hadits shahih yang telah disebutkan di muka. Saya tidak meragukan keilmuan, keutamaan dan keluasan beliau dalam menelaah serta perhatian beliau terhadap As-Sunnah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah ilmu dan taufik kepada beliau. Akan tetapi beliau telah salah dalam permasalahan ini dengan kesalahan yang sangat jelas.

Setiap orang yang alim bisa dipegang dan ditinggalkan pendapatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik bin Anas radhiyallahu ‘anhu: “Tidaklah ada di antara kami, melainkan bisa diambil dan ditolak pendapatnya, kecuali penghuni kuburan ini.”

Yakni: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula yang dikatakan oleh ahlul ilmi sebelum dan sesudah beliau. Dan bukan hal itu berarti mengurangi penghormatan kepada mereka atau menjatuhkan kedudukan mereka, bahkan dalam hal tersebut mereka memperoleh antara satu dan dua pahala.
Sebagaimana hal ini shahih ditunjukkan oleh As-Sunnah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal hukum mujtahid (orang yang berijtihad):
“Apabila benar, dia mendapat dua pahala dan apabila salah, dia mendapat satu pahala.” [Al-Bukhari (6919), Muslim (1716), Abu Dawud (3574), Ibnu Majah (2314) dan Ahmad (4/204)]

2. Orang yang memperhatikan hadits-hadits yang telah berlalu (hadits Sahl, hadits Wail dan yang lainnya [1]), maka akan nampak jelas baginya bahwa hadits tersebut menunjukkan akan disyariatkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri dalam shalat sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Sebab tidak disebutkan perincian di dalamnya, dan memang pada asalnya tidak ada perincian tersebut.

Dikarenakan juga, di dalam hadits Sahl radhiyallahu ‘anhu terdapat perintah untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri ketika shalat dan tidak dijelaskan tempat (posisi)-nya dalam shalat. Apabila kita memperhatikan dengan seksama hadits-hadits dalam permasalahan ini, maka akan nampak jelas bagi kita bahwa yang sunnah dalam shalat adalah meletakkan kedua tangan pada kedua lutut ketika ruku’. Dalam keadaan sujud meletakkannya ke tanah dan ketika duduk meletakkan keduanya di atas kedua paha dan lutut. Sehingga tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Maka diketahuilah bahwa hal itulah yang dimaksud oleh hadits Sahl. Ini sangat jelas sekali.

Adapun hadits Wail, di dalamnya terdapat penegasasan dari Wail radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan ketika berdiri dalam shalat. Hadits ini dikeluarkan oleh An-Nasa’i (887) dengan sanad shahih. Lafadz yang berasal dari Wail radhiyallahu ‘anhu ini mencakup kedua posisi berdiri tersebut tanpa diragukan lagi. Barangsiapa yang membedakan antara keduanya maka hendaknya mendatangkan dalil. Hal ini telah diisyaratkan pada awal pembahasan.

3. Bahwa para ulama menyebutkan: Di antara hikmah dalam meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah hal tersebut lebih dekat dengan sifat khusyu’ dan tunduk serta jauh dari sikap main-main, sebagaimana yang telah berlalu dalam ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar. Sikap yang seperti itulah yang dituntut bagi setiap orang yang shalat sebelum ruku’ dan sesudahnya. Maka tidak boleh membedakan antara dua posisi tersebut kecuali dengan dalil yang tsabit (shahih) yang wajib untuk dipegangi.

Adapun ucapan saudara kita Al-’Allamah: “… Bahwa hal tersebut sama sekali tidak terdapat dalam satu hadits pun dari hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat, dan betapa banyak hadits-hadits dalam permasalahan shalat. Kalau seandainya hal tersebut memiliki asal (dalil) niscaya akan dinukilkan sampai kepada kita, meskipun hanya melalui satu jalan.”

Maka jawabnya: “Bukan seperti itu, bahkan sebaliknya, telah warid riwayat yang menunjukkan atas hal ini dari hadits Sahl, Wail dan yang lainnya, sebagaimana yang telag berlalu penjelasannya. Dan bagi orang yang mengecualikan posisi berdiri setelah rukuk dari makna yang ditunjukkan oleh hadits-hadits tersebut wajib untuk mendatangkan dalil yang shahih dan jelas menunjukkan hal itu.

Adapun ucapan beliau -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik kepadanya-: “Dikuatkan lagi bahwa tidak ada salah seorang dari ulama salaf yang melakukannya dan tidak pula disebutkan oleh salah seorang imam ahlul hadits sepanjang pengetahuanku.”

Maka jawabannya dengan mengatakan: Ini sangat aneh sekali. Apa yang menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang melakukannya? Bahkan yang benar: bahwasanya hal itu merupakan dalil yang menunjukkan bahwa dahulu mereka bersedekap ketika berdiri setelah ruku’. Kalau seandainya mereka melakukan hal yang berseberangan dengan hal ini niscaya akan dinukil. Sebab hadits-hadits yang telah lalu terdahulu menunjukkan disyariatkannya bersedekap ketika berdiri dalam shalat, baik sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Dan inilah makna yang ditunjukkan oleh judul yang dibuat oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah yang telah disebutkan dalam awal pembahasan masalah ini.

Sebagaimana juga hal itu, makna yang ditunjukkan oleh ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menjelaskan judul yang dibuat oleh Imam Al-Bukhari tersebut. Kalau seandainya ada salah seorang dari ulama salaf yang melakukan sebaliknya niscaya akan dinukilkan sampai kepada kita. Yang lebih jelas lagi, tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau menjulurkan kedua tangan ketika berdiri setelah ruku’. Kalau seandainya beliau melakukannya niscaya akan dinukil sampai kepada kita sebagaimana para shahabat menukil ucapan dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya. Dan telah berlalu dalam ucapan Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah bahwasanya tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selain bersedekap. Dan hal ini disetujui oleh Al-Hafidz dan kita tidak mengetahui pendapat yang berseberangan dari ulama yang lainnya.

Maka jelaslah dengan keterangan yang telah kami sebutkan bahwa apa yang dikatakan oleh saudara kita Fadhilatusy Syaikh Muhammad Nashiruddin dalam masalah ini merupakan hujjah yang membantahnya dan bukan hujjah baginya ketika kita benar-benar memperhatikan dengan seksama, sambil tetap menjaga kaedah-kaedah mutaba’ah yang dipegangi oleh ahlul ilmi. Semoga Allah mengampuni kita dan beliau serta memberikan ampunan dan maaf kepada kita semuanya. Semoga saja setelah menelaah apa yang kami sebutkan ini akan nampak jelas kebenaran bagi beliau, sehingga beliau pun kembali kepadanya. Sebab al-haq adalah bekal yang hilang dari seorang mukmin, kapan saja dia menjumpainya maka dia akan mengambilnya. Apalagi beliau -walhamdulillah- termasuk orang yang membela al-haq, berusaha meraihnya, dan mengorbankan kesungguhannya yang begitu banyak untuk menjelaskan serta menyeru manusia kepada al-haq.

PERINGATAN PENTING

Hendaknya diketahui bahwa pembahasan yang telah berlalu dalam permasalahan bersedekap dengan menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan serta meletakkannya di atas dada atau yang lainnya sebelum ruku’ maupun sesudahnya, semua itu adalah permasalahan sunnah, bukan dari permasalahan-permasalahan yang wajib menurut ahlul ilmi. Kalau seandainya ada seseorang yang shalat dengan menjulurkan tangannya dan tidak bersedekap, baik sebelum ruku’ maupun sesudahnya, maka shalatnya tetap sah.

Hanya saja dia telah meninggalkan sesuatu yang afdhal dalam shalat. Maka, tidak sepantasnya bagi seorang muslim menjadikan perbedaan pendapat dalam masalah ini dan yang semisalnya sebagai wasilah untuk berselisih, saling memboikot dan bercerai-berai. Sebab hal yang seperti itu tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin.

Sampai pun kalau seandainya ada yang mengatakan bahwa bersedekap itu wajib sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Imam Asy-Syaukani dalam “An-Nail” (maka tetap tidak boleh untuk menjadikannya sebagai wasilah untuk saling berselisih, saling memboikot, dan saling bercerai-berai). Bahkan yang wajib bagi kaum muslimin seluruhnya dengan kemampuan dan kesungguhan tersebut untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, menjelaskan al-haq dengan dalil-dalilnya, bersemangat keras untuk mensucikan hati dan menyelamatkannya dari perasaan iri dan dengki kepada sesama kaum muslimin yang lainnya.

Sebagaimana pula yang wajib bagi mereka untuk menjauhi sebab-sebab perpecahan dan saling memboikot. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan bagi kaum muslimin untuk berpegang dengan tali Allah Subhanahu wa Ta’ala seluruhnya dan melarang mereka jangan sampai terpecah-belah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, …” (Ali Imran: 103)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai bagi kalian tiga hal, yaitu: kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kalian berpegang teguh dengan tali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak bercerai berai, serta kalian menasehati orang yang dikuasakan oleh Allah untuk memimpin urusan kalian (yaitu pemerintah).” [HR. Muslim (1715), Ahmad (2/367), dan Malik (1863))

Telah sampai berita kepada saya dari mayoritas saudara kita kaum muslimin di Afrika dan negara lainnya bahwasanya telah terjdi di antara mereka kebencian, saling memboikot hanya disebabkan permasalahan bersedekap dan menjulurkan tangan.

Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini merupakan kemungkaran yang tidak boleh terjadi pada mereka. Bahkan yang wajib bagi kaum muslimin seluruhnya adalah hendaknya mereka saling nasehat-menasehati dan saling memahamkan dalam mengetahui al-haq disertai dengan dalil-dalilnya dengan tetap menjaga kecintaan, kejernihan hati, dan ukhuwah Islamiyah. Dahulu para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -semoga Allah meridhai mereka semua- dan ulama-ulama setelah mereka berselisih dalam masalah-masalah furu’, namun hal itu tidaklah menyebabkan mereka bercerai-berai dan saling memboikot satu sama lainnya. Sebab tujuan masing-masing adalah mengetahui al-haq dengan dalil-dalilnya. Kapan saja nampak kebenaran itu bagi mereka, mereka bersatu di atas kebenaran tersebut. Dan kapan saja tersembunyi bagi salah seorang di antara mereka, tidak menjadikannya menganggap sesat saudaranya dan tidak pula menyebabkan dia memboikot, memutus hubungan dengannya maupun tidak mau shalat di belakangnya.

Maka wajib bagi kita, seluruh kaum muslimin untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berjalan di atas jalan yang ditempuh oleh Salafush Shalih sebelum kita dalam berpegang dengan al-haq, mendakwahkannya, saling menasehati sesama kita dan bersemangat untuk mengetahui al-haq disertai dalil-dalilnya, dengan tetap menjaga kecintaan dan persaudaraan imaniyyah, tidak saling memutuskan hubungan dan saling memboikot hanya dikarenakan masalah furu’, dimana terkadang masih tersembunyi dalilnya bagi sebagian kita sehingga ijtihadnya membawa dia menyelisihi saudaranya dalam mengambil hukum.

Kita mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang husna (maha indah) dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi, semoga menambah hidayah dan taufik kepada kita dan kaum muslimin seluruhnya, dan semoga Allah memberikan kepada kita kefaqihan dalam memahami agama ini, kekokohan di atasnya, menolong dan mendakwahkannya, sesungguhnya Dia Maha Penolong dan Maha Kuasa atas hal itu. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita, Muhammad beserta keluarga, shahabat dan orang-orang yang mengambil petunjuknya serta mengagungkan sunnahnya hingga datangnya hari Pembalasan.

Catatan kaki:
[1] Hadits-hadits tersebut ialah:
Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam kitab “Shahih-nya” (Al-Adzan, 707): “Bab Meletakkan Tangan Kanan di Atas Tangan Kiri”: ‘Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami, dari Malik, dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Dahulu kaum muslimin diperintahkan agar meletakkan tangan kanannya di atas lengan kirinya ketika shalat.” Berkata Abu Hazim: “Aku tidak mengetahuinya melainkan dia menyandarkan perintah itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” {demikian yang dimaksud}

Dan telah tsabit dari hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat An-Nasa’i dengan isnad yang shahih: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila beliau berdiri dalam shalat, beliau menggenggam tangan kiri dengan tangan kanannya.” [Muslim (401), An-Nasa'i (887) dan Abu Dawud (726)]

Silakan lihat penjelasan kedua hadits di atas pada sumber tulisan.

Sumber: Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam & Fatwa-fatwa Penting Tentangnya oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz (penerjemah: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, Abu Hudzaifah, Khoirur-Rijal, dan Alimuddin), penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, Sukoharjo. Hal. 340-347.